DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Tiga Kota Paling Tidak Toleran: Cilegon, Depok, Padang

image
Ilustrasi 3 kota paling tidak toleran: Cilegon, Depok, Padang

ORBITINDONESIA.COM - Pimpinan dan masyarakat kota Cilegon, Depok, Padang, harus malu. Menurut penelitian SETARA INSTITUTE, 3 kota itu masuk dalam kelompok kota paling tidak toleran di Indonesia.

Ini terungkap dalam rilis laporan Indeks Kota Toleran (IKT) 2022 yang belum lama ini diumumkan Setara Institute.

Sebaliknya, kota yang dinilai SETARA memiliki indeks toleransi paling tinggi adalah Singkawang.

Baca Juga: Pilkada Jakarta: PDI Perjuangan Buka Penjaringan Bakal Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Mulai Rabu

Baca Juga: Apa Perbedaan Antara Cinta dan Seks , Begini Jawaban ChatGPT

Di bawah Singkawang, ada Salatiga di tempat kedua. Lalu, yang ketiga Bekasi, keempat Surakarta, dan yang kelima Kediri.

SETARA mengeluarkan IKT secara rutin sejak 2015. SETARA sendiri adalah LSM yang melakukan penelitian dan advokasi tentang demokrasi, kebebasan politik dan hak asasi manusia.

Baca Juga: Setelah Ditangkap dan Digebuki Warga, Polres Metro Jakarta Selatan Amankan Pencuri Sepeda Motor di Tebet

Penelitian dilakukan di 94 kota di seluruh Indonesia. Penilaian dilakukan dengan mempertimbangkan 4 variabel, seperti regulasi pemerintah kota, regulasi sosial, tindak pemerintah, dan demografi sosio keagamaan.

SETARA melakukan penelitian rutin ini untuk memberi gambaran tentang kinerja pemerintah dalam mengelola kerukunan, toleransi, dan wawasan kebangsaan.

Baca Juga: Putus dari JK, Denise Chariesta Masa Bodoh Anaknya Lahir Tanpa Bapak, Ini Penyebabnya

Baca Juga: Piala Asia Putri U17: Korea Utara Menang Telak Melawan Korea Selatan

Apa yang dilakukan SETARA ini sangat layak dipuji, karena tahun-tahun ini, kita memang mendengar meningkatnya praktek-praktek intoleransi yang terjadi di Indonesia.

Pelarangan pembangunan rumah ibadah, pembangunan paksa umat yang sedang beribadah, dan juga penutupan atau penyerangan rumah ibadah sudah terjadi berulangkali.

Begitu juga ada pemerintah yang mewajibkan siswi sekolah negeri mengenakan pakaian seragam dengan mengikuti identitas agama tertentu.

Baca Juga: KAS Eupen, Klub Tempat Shyane Pattynama Bermain di Liga Belgia Terdegradasi  

Dengan IKT ini bisa terlihat kok, seberapa jauh pemerintah dan masyarakat di daerah bisa mencegah atau justru mendukung praktek intoleransi. Di sisi lain, IKT ini juga bisa jadi rujukan tentang daerah-daerah yang mendukung dan menjaga kerukunan, keharmonisan dan keberagaman.

Baca Juga: NYESEK, Denise Chariesta Sebut JK sebagai Dajjal Gara Gara Diminta Hal Ini, Bikin Sakit Hati

Tim peneliti SETARA bekerja sepanjang tahun. Untuk menilai indeks tolaransi di sebuah kota, SETARA mempelajari program pemerintah di sebuah daerah dalam menata toleransi dan kerukunan.

Baca Juga: THE Asia University: Universitas Indonesia adalah Perguruan Tinggi Terbaik di Indonesia

Juga mempelajari apakah kota tersebut memiliki dan menerapkan kebijakan yang membuka ruang dialog antar umat beragama, etnis dan suku.

Selain itu diperhatikan juga ya apakah di kota itu berlangsung perayaan semua umat beragama, perayaan budaya, serta apakah masyarakat terlibat dalam perayaan itu.

Nah, begitu juga dicatat apakah di kota tersebut berlangsung peristiwa-peristiwa yang diskriminatif.

Baca Juga: THE Asia University: Universitas Indonesia adalah Perguruan Tinggi Terbaik di Indonesia

Baca Juga: Apakah Ada Problem Jika Seorang Janda Jatuh Cinta Pada Anda, Begini Jawaban ChatGPT

Sebaliknya, yang menyebabkan sebuah kota mendapat indeks toleransi rendah kalau kota itu memiliki pemimpin yang mengedepankan identitas agama tertentu.

Misalnya pemimpin itu mengeluarkan kebijakan yang melayani kaum mayoritas dan mengabaikan kaum minoritas.

Baca Juga: Palyoff Olimpiade 2024: Indonesia Sudah Tiba di Paris

SETARA juga mempelajari apakah di kota-kota itu, masyarakat sipil terpolarisasi oleh identitas keagamaan, etnis dan kelompok lainnya.

Singkat kata, SETARA bukan bikin survey dengan minta pendapat masyarakat atau tokoh. SETARA benar-benar mempelajari peraturan dan kebijakan di sebuah daerah, berita-berita tentang toleransi dan intoleransi di wilayah itu, serta pengamatan tentang apa yang terjadi di sana.

Baca Juga: Ini Isi WhatsApp Asisten Denise Chariesta dengan JK yang Bikin Keduanya Putus

Baca Juga: Hamid Awaludin: Hamas Minta Mantan Wapres RI Jusuf Kalla Memediasi Upaya Akhiri Konflik di Palestina

Penelitiannya itu mendalam. Dan ternyata dari tahun ke tahun, polanya kurang lebih memang sama. Singkawang misalnya hampir selalu berada di puncak kota yang toleran.

Kota ini memang menarik. Singkawang terletak di pedalaman Provinsi Kalimantan Barat. Singkawang menarik karena keragaman budayanya.

Jumlah penduduknya 240 ribu jiwa. Mereka sangat multietnis dan multiagama. Umat Islam sekitar 53%, diikuti pemeluk Budha sekitar 34%, Kristen 13%, dan lain-lain. Tapi di kota itu, warna Tionghoa sangat terasa.

Baca Juga: KAMPUZ, Komite Aliansi Mahasiswa Anti Amerika dan Israel Ajak Semua Civitas Academica Dukung Palestina

Singkawang bahkan dijuluki kota Seribu Kelenteng, karena di setiap sudut kota itu dapat ditemui banyak bangunan vihara atau lebih dikenal sebagai kelenteng atau pekong.

Baca Juga: Kritikan Bima Yuho Saputro Bikin Nunik dan Dawam Kena Jewer Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar

Setiap tahun, di Singkawang juga ada perayaan Cap Go Meh, tahun baru Imlek yang ramai dan meriah sebagai salah satu ciri khas kota itu.

Baca Juga: PBB Kecam Pelanggaran Kebebasan Pers oleh Israel Terkait Penutupan Kantor Lokal Al Jazeera di Yerusalem

Kondisi ini berbeda terbalik dengan Cilegon. Di kota itu ada ada 382 masjid dan 287 musholla di Cilegon. Tapi tak ada satu pun gereja, pura, maupun vihara. Padahal jumlah warga Kristen dan Katolik di sana pada tahun 2019 mencapai 8000 orang.

Tahun lalu, Cilegon menjadi berita besar karena penolakan masyarakat secara massif terhadap pembangunan gereja HKBP Maranatha.

Bahkan walikotanya turut menandatangani pernyataan penolakan pembangunan gereja itu. Bahkan ada kelompok-kelompok masyarakat yang secara terbuka bilang, di Cilegon tidak boleh ada gereja.

Baca Juga: Klasemen Formula 1: Max Verstappen Pimpin Klasemen Usai GP Miami

Baca Juga: Bawa PSM Makassar Juara BRI Liga 1, Pelatih Bernardo Tavares Disorot Media Olahraga Portugal

Kondisi-kondisi itulah yang menyebabkan Singkawang dinilai sebagai kota paling toleran dan Cilegon kota yang paling tidak toleran.

Yang mengecam laporan SETARA sudah ada. Salah satunya adalah Wali Kota Depok Mohammad Idris. Dia tak terima kotanya disebut memiliki tingkat toleransi sangat rendah. Idris menganggap metode yang digunakan SETARA tak bisa diandalkan.

Baca Juga: Formula 1: Lando Norris Juara GP Miami

SETARA sendiri menyebut Depok tidak toleran karena pemerintah menyegel masjid Ahmadiyah. Idrisnya membantah. Menurutnya, penyegelan itu dilakukan sesuai dengan undang-undang.

Mengherankan ya. Di mana pula ada undang-undang di Indonesia yang memerintahkan penyegelan rumah ibadah?

Baca Juga: Pasukan TNI Dipecundangi, Status Operasi di Papua Ditingkatkan Jadi Operasi Siaga Tempur

Baca Juga: Ahmad Azzam Muhammad, Siswa SMA Labschool Jakarta Diterima di 6 Perguruan Tinggi di Amerika: Terampil Menulis Esai

Laporan SETARA ini bukan abal-abal. Mereka itu serius mempelajari kondisi masing-masing daerah.

Kalau ada pimpinan daerah yang tidak puas karena dinilai tidak toleran, yang sebaiknya dilakukan adalah bukan mencari-cari kesalahan SETARA, tapi memperbaiki diri agar mereka tak lagi dapat peringkat buncit.***

Berita Terkait