DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Renungan: Mengapa di Negara yang tak Menganggap Agama Penting, Justru Mampu Membuat Warganya Paling Bahagia

image
Denny JA membeberkan tentang hubungan agama dan kebagaiaan warga negara.

Oleh Denny JA

ORBITINDONESIA.COM - Merenungkan paskah dan ramadan perlu juga memperhatikan data yang dikeluarkan PBB. Ini data sangat baru. Dipublikaskan bulan Maret lalu, 2023, sebulan lalu. (1)

Baca Juga: New Year Gaza 24 B

Itu data mengenai cara mengukur kemajuan negara. Sebuah negara dikatakan maju tak lagi hanya dilihat kemakmuran ekonominya. Tapi justru yang paling penting adalah kebahagian warga negaranya.

Para ahli ekonomi, politik, public policy dan psikologi bersama menyusun index itu. Sejak tahun 2012, PBB melalui Sustainable Develoment Solution Netwok, mempublikasikan index yang disebut World Happiness Index.

Baca Juga: Mereview Pemikiran Denny JA tentang Agama Menjadi Warisan Kultural Milik Bersama

Baca Juga: Survei LSI Denny JA: Elektabilitas PSI yang Dipimpin Kaesang Hanya 1,5 Persen, Gerindra Salip PDI Perjuangan

Berbagai dimensi ekonomi, politik, psikologi menjadi bagian index itu. Tak hanya soal kemakmuran ekonomi, pemerintahan yang bersih, tapi social trust dan keakraban warga negara menjadi komponen perhitungan. Puncak kemajuan harus tetap terlihat dari kebahagiaan manusia di negara itu.

Di tahun 2023 ini, negara yang dianggap paling tinggi indeks kebahagian warga negara adalah Finlandia. Negara itu berada di rangking pertama sebanyak 6 kali berturut- turut. Luar biasa.

Top 10 negara yang paling maju ini didominasi oleh negara skandinavia dan Eropa Barat. Di antaranya: Denmark, Swedia, Norwegia, Swiss, Belanda.

Baca Juga: Ditemani Erick Thohir, Prabowo Subianto Makan Siang Bersama Pelaku Usaha Muda

Yang menarik, berdasarkan data Gallup Poll (2008/2009), di negara itu agama tak lagi dianggap penting oleh masyarakatnya.

Di Finlandia, persentase masyarakat yang menganggap agama penting dalam hidupnya hanya 28 persen. Di Denmark hanya 19 persen, Swedia 15 persen.

Top 10 negara yang membuat warganya paling bahagia, rata rata hanya 31 persen populasinya menganggap agama penting dalam hidup mereka.

Baca Juga: Yasonna H Laoly Dampingi Megawati Soekarnoputri Selama Jadi Juri Jayed Award 2023 di Roma

Ini menimbulkan pertanyaan yang mendasar. Mengapa di negara yang tak lagi menganggap agama penting justu mampu membuat warganya paling bahagia, makmur, pemerintahannya paling bersih dari korupsi, dan menghormati keberagaman

Sebaliknya, kita melihat data lain. Suasana di negara yang di atas 90 persen populasinya menganggap agama sangat penting. Yaitu di Indonesia (Islam), India (Hindu), Thailand (Buddha) dan Brazilia (Katolik). Di negara itulah jumlah umat beragama paling banyak.

Tapi bagaimana rangking di negara itu dalam membuat warganya bahagia? Indonesia hanya rangking 80. India rangking  no. 136, Thailand no. 53, Brazil no: 34.

Baca Juga: Jadi Juri Zayed Award 2024, Megawati Diwawancarai Radio Vatikan

Di negara yang menganggap agama minta ampun pentingnya tapi justru tak mampu membuat warga negaranya paling bahagia, pemerintahan yang bersih dan sebagainya.

Bagaimana kita menjelaskan fenomena itu? Mengapa di era ini agama tak lagi menjadi variabel yang membuat warga negaranya makmur, maju, dan bahagia? Apa yang salah?

Dengan menyelami data ini, terbuka mata kita mengenai realitas agama dalam prakteknya di abad 21.

Baca Juga: Dugaan Operasi Tangkap Tangan Gubernur Abdul Gani Kasuba, KPK Gelandang 3 Pejabat Maluku Utara ke Jakarta

-000-

Banyak faktor yang bekerja. Dua penyebab utama. Pertama adalah berubahnya driving force peradaban.

Dulu di abad pertengahan dan sebelumnya, agama menjadi driving force utama peradaban.

Baca Juga: BMKG: Hujan Lebat Berpotensi Turun di Beberapa Kota

Tapi di era modern, driving force utama peradaban berpindah kepada ilmu pengetahuan dan manajemen modern.

Untuk maju, makmur dan mampu membuat warga negara bahagia, tergantung dari kemampuan negara itu dalam mengelola ilmu pengetahuan dan manajemen modern, bukan oleh intensitas beragama.

Tanpa kemampuan mengelola ilmu pengetahuan dan manajemen modern secara optimal, sebuah negara tak akan mampu membuat warganya bahagia, walau intensitas beragama di negara itu begitu luas.

Baca Juga: Peringati Hari Bela Negara, Ibnu Chuldun: Bersatu dan Berkontribusi untuk Indonesia Maju

Suka atau tidak, inilah realitas yang ada. Driving force peradaban utama sudah tak lagi di tangan hidup beragama.

Kedua, agama pun meredup sebagai kekuatan compassion, kekuatan akhlak. Akibatnya riuh rendah ritus agama tidak berlanjut pada perilaku sosial yang sesuai.

Semakin terlihat ada kesenjangan antara doktrin agama dan peradaban yang dihasilkannnya. Ada jurang menganga antara keriuhan ritus agama dengan perilaku sosial penganutnya.

Baca Juga: Permohonan Layanan Melonjak, Sandi Andaryadi: Imigrasi DKI Jakarta Harus Bekerja Prima

Data paling mencolok justru dikeluarkan oleh KPK. Di tahun 2011, hasil riset KPK menyatakan departemen agama justru paling korup. Departemen yang tugasnya mengelola agama justru paling tidak menjalankan perintah agama.

Merenungkan paskah dan ramadhan saatnya kembali kita bangkitkan kekuatan compassion, kekuatan akhlak di setiap agama.

Kita termasuk kelompok yang meyakini. Kompleksitas batin manusia tak hanya bisa dipuaskan semata oleh kelimpahan ekonomi dan kemajuan teknologi. Manusia adalah mahluk spiritual yang memiliki tubuh.

Baca Juga: Denny JA: Puisi Esai Waktunya Masuk Kampus dan Sekolah

Kehangatan cinta, indahnya kekudusan alam adalah sesuatu yang eksistensial yang juga perlu  untuk dihayati batin homo sapiens. Karena itu, harta yang terpendam dalam samudra agama tetap berharga untuk terus digali.

Tapi apa itu harta paling mahal yang terpendam dalam samudra agama? Apa itu esensi agama?

Kita pun merujuk kepada sejarah kelahiran agama. Di masa awal kelahiran agama, ia berfungsi menjadi revolusi akhlak bagi masyarakatnya. Itulah esensi agama: melahirkan akhlak kebajikan di hati manusia.

Baca Juga: Kepala Kanwil Kemenkumham DKI Jakarta Ibnu Chuldun Resmikan Laboratorium Peradilan Pidana Universitas Yarsi

Ajaran kasih dan cinta dalam khotbah di atas bukit Jesus Kristus (Nabi Isa di Islam) dalam agama Kristen  itu sebuah revolusi moral di zamannya.

Di era ketika berlaku hukum Nabi Musa: “mata dibalas mata, mati dibalas mati, Yesus mengajarkan yang sangat berbeda: “maafkan mereka yang melukaimu. Cintai musuhmu. Sayangi tetanggamu.

Hal yang sama terjadi pada Nabi Muhammad. Begitu banyak ayat dan hadis yang menyatakan. Nabi diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia.

Baca Juga: Pembunuh Petugas Imigrasi Tri Fattah Firdaus Jadi Tersangka, Sandi Andaryadi: Kami Apresiasi Polda Metro Jaya

Teman- teman dari Forum Esoterika kembali berkumpul di sini. Bersama kita merayakan hari besar agama secara lintas agama.  Sebelumnya kita merayakan imlek agama Konghucu, dan Nawruz agama Bahai.  Kini kita bersama merayakan Hari Paskah umat Kristen dan Bulan Puasa Ramadhan umat Islam.

Kita menggemakan kembali apa yang ditulis dalam kitab Veda, 3500 tahun lalu.

“Kebenaran adalah satu. Para nabi dan guru suci datang silih berganti, menyebut kebenaran itu dengan nama yang berbeda.

Baca Juga: Warga Negara Asing Asal Korea Selatan Jadi Tersangka Pembunuhan Petugas Imigrasi Tri Fattah Firdaus

Kita bangkitan kembali compassion dan kekuatan cinta yang ada pada setiap agama.

Renungan paskah dan ramadan kita arahkan untuk mengembalikan agama cinta kasih, agama akhlak, agama compassion.***

April 2023.

Baca Juga: Di Gedung Long See Tong Kota Padang, Mahfud MD Janji Perjuangkan Hak Adat

(Transkripsi Pidato Lisan Denny JA, di sampaikan dalam Forum Lintas Agama Esoterika dan GKI merayakan Hari Paskah dan Ramadhan secara lintas agama, 15 April 2023)

CATATAN

1. Laporan World Happiness Index 2023

Baca Juga: Muhaimin Iskandar Janjikan Tunjangan Ibu Hamil, Guru Mengaji, dan Bebaskan Pajak Bumi Bangunan

https://worldhappiness.report/ed/2023/

Berita Terkait