DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Surya Paloh, Boss Oligarki Perusak Demokrasi Indonesia

image
Ketua Umum Partai NasDem, Surya Paloh yang juga pemilik Media Indonesia dan Metro TV.

ORBITINDONESIA.COM - Gerakan Reformasi 1998 yang menumbangkan Suharto dan dibayar dengan banyak nyawa para mahasiswa bertujuan menghapus KKN, Kolusi Korupsi Nepotisme yang saat itu masif dilakukan Orde Baru.

Dalam kemelut 1998, kemudian media hadir sebagai “Pilar Keempat Demokrasi”. Tapi dalam perjalanan waktu kemudian, demokrasi yang diwujudkan lewat Gerakan 1998 tersandera oleh oligarki.

Surya Paloh adalah contoh Boss Oligarki yang mengangkangi dunia politik paling sempurna. Di tangannya ia membentuk Partai Politik Nasdem. Kemudian ini diubah, dari partai katanya berdasarkan gerakan rakyat menjadi sebuah korporasi besar.

Baca Juga: PBB Kecam Pelanggaran Kebebasan Pers oleh Israel Terkait Penutupan Kantor Lokal Al Jazeera di Yerusalem

Baca Juga: Sabtu Besok, Ganjar akan Masuk ke Palembang

Surya Paloh memanfaatkan liberalisme di dunia politik kita dengan bisnis. Bahkan ia merekayasa bisnis yang kekuatannya bukan pada profesionalisme, tapi pada media dan aparat hukum sebagai penekan bagi pesaing-pesaingnya.

Surya Paloh sangat tahu bagaimana bermain jorok dalam dunia politik liberal. Ia tanpa tahu malu menjadikan Media Indonesia dan Metro TV, yang merupakan media massa publik, menjadi media privat corong Partai Nasdem.

Baca Juga: Klasemen Formula 1: Max Verstappen Pimpin Klasemen Usai GP Miami

Dan ini dimanfaatkan secara maksimal untuk menyerang lawan-lawan politiknya, dan membranding ‘orang-orang Surya Paloh.’  Juga, menutup-nutupi kejahatan yang dilakukan orang-orang Surya Paloh.

Ada kasus Metro TV yang digunakan sebagai alat blackmail Surya Paloh demi kepentingan duit. Ada sosok, sebut saja Slamet (nama disamarkan), seorang eks petinggi Metro TV pernah dipanggil Surya Paloh.

Baca Juga: Jadwal Lengkap Pertandingan Liga Inggris di Game Week ke 37: Pekan Penentuan Juara

Baca Juga: Formula 1: Lando Norris Juara GP Miami

Ia diminta menaikkan berita yang mempersoalkan pembangunan Menara BCA yang berlokasi di sekitar kompleks Hotel Indonesia.

Setelah berita masif dan dilakukan operasi media menyerang tata ruang dan izin Menara BCA di belakangnya, Surya Paloh menghubungi Grup Djarum minta duit ‘tutup mulut.’

Dan diduga mengalirlah dari Grup Djarum duit senilai Rp 1 triliun yang diterima Lestari Moerdijat, Wakil Ketua MPR dari Nasdem. Sebuah permainan jorok dalam dunia pers kita ditunjukkan dalam kasus ini.

Baca Juga: Ahmad Azzam Muhammad, Siswa SMA Labschool Jakarta Diterima di 6 Perguruan Tinggi di Amerika: Terampil Menulis Esai

Keberhasilan mengambil aset milik Bambang Trihatmodjo lewat adik iparnya Rossano Barrack, ambil untung kasus BLBI, penguasaan Blok Cepu di masa pemerintahan SBY, penguasaan Hotel Tiara Medan, adalah contoh cara main Surya Paloh dalam dunia bisnis, yang menjadikan politik dan hukum sebagai alat penekan.

Baca Juga: Disinggung tentang Bakal Cawapres Ganjar Pranowo, Nasaruddin Umar Santai

Untuk menjelaskan permainan hitam media, bayangkan Metro TV yang secara bisnis merugi selama puluhan tahun, bisa tetap eksis karena Metro TV digunakan Surya Paloh sebagai media propaganda, alat penekan dan alat meraih keuntungan.

Baca Juga: Yang Tercecer di Era Kemerdekaan (4): 50 Tahun Kututup Rahasia Itu Rapat-rapat

Tak heran, sepanjang Pemerintahan Jokowi, Surya Paloh-lah tokoh oligarki yang mendapatkan manfaat terbesar. Ia menempatkan orang-orangnya di kabinet dan menugaskan mengambil keuntungan dan peluang birokrasi serta anggaran untuk meraup cuan sebanyak-banyaknya.

Dalam pemberitaan di Metro TV dan Media Indonesia juga kelihatan kelakuan jorok Surya Paloh. Pada editorial Media Indonesia dan Metro TV pada 3 April 2023, bagaimana kedua media itu menyerang Boss PAN Zulkifli Hasan, yang dijadikan Jokowi Menteri Perdagangan.

Kedua Media itu mencela “Indonesia sudah jadi Republik Impor”. Padahal kedua media itu tak pernah bersuara ke Kementerian Perdagangan dipegang Nasdem.

Baca Juga: Piala Thomas 2024: Indonesia Runner Up

Baca Juga: Kasus Johnny G Plate Dituduh Sebuah Intervensi Kekuasaan, Itu Fitnah Keji

Padahal kasus patgulipat impor bawang yang dilakukan Enggartiasto Lukita, Menteri Nasdem, sudah ditangani KPK dan mencuat ke publik. Karena Jaksa Agung yang juga orang Nasdem kemudian diminta melindungi Enggar, maka kasus ini dipeti-eskan.

Dukungan politik Nasdem kepada Jokowi dimanfaatkan benar-benar oleh Surya Paloh ketika menempatkan orang-orangnya di kabinet.

Baca Juga: Liga Belanda Eredivisie: PSV Eindhoven Juara

Di awal pemerintahan Jokowi, Surya Paloh menguasai Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Agraria, Jaksa Agung dan Menteri Perdagangan yang otomatis orang-orang ini adalah ‘Sapi Perahnya’ Surya Paloh.

Lewat aksi tilepan para menteri inilah, Surya Paloh mampu membuat gedung megah Nasdem Tower di Jalan Gondangdia, Menteng. Yang uniknya walaupun namanya menggunakan Nasdem tapi kepemilikan gedung diatas namakan Perusahaan Surya Paloh yang bernama Indocarter.

Baca Juga: Kadinkes Reihana Minta Klarifikasi Harta LHKPN Ditunda, KPK Tak Tinggal Diam Langsung Terjunkan Tim ke Lampung

Baca Juga: Pemain Timnas Jay Idzes Bawa Venezia Menang untuk Dekati Promosi ke Serie A

Pernah dalam sebuah diskusi di tahun 2018, seorang Menteri Jokowi menghitung bahwa pada masa pertama Pemerintahan Jokowi setidaknya duit Rp 11 triliun masuk ke kocek Surya Paloh.

Di sinilah rakyat ditipu ‘Nasdem tanpa mahar.’ Dengan aksi tilepnya di dalam pemerintahan Jokowi, Surya Paloh mampu mengumpulkan pundi-pundi yang banyak dan digunakan untuk operasi politik.

Termasuk perekrutan dengan membajak kader partai lain, merekrut tokoh-tokoh yang dianggap punya elektabilitas tinggi.  Mereka yang bergabung dengan Nasdem diberikan ‘mahar’ yang dapat membangun elektabilitas mereka dan memenangkan pertarungan politik di wilayahnya.

Baca Juga: M Haris: Peserta MITA Tingkat Nasional Diminta Perkenalkan Wisata Bangka ke Masyarakat dan Dunia Internasional

Kelakuan Surya Paloh dalam merekrut dan membajak kader Partai lain lalu memodalinya duit untuk kampanye politik mirip seperti “Head Hunter” dalam dunia bisnis.

Baca Juga: Klasemen Sementara di Pekan Penentuan Gelar Juara Liga Inggris: The Forest vs Arsenal, Man City vs Chelsea

Permainan jorok Surya Paloh dalam dunia politik dan hukum menjadikan aparat hukum sebagai mainan politiknya. Kejaksaan Agung dijadikan semacam bawahan Partai Nasdem.

Baca Juga: Lenovo Perkenalkan LISSA, Solusi AI Berkelanjutan Dalam Teknologi Informasi, Termasuk Kurangi Jejak Karbon

Penempatan jabatan Kajari (Kepala Kejaksaan Negeri) dan Kajati (Kepala Kejaksaan Tinggi) tidak melalui proses assesment yang benar, tapi diarahkan lewat DPP Nasdem. Politisi Nasdem-lah yang menentukan nama-nama yang bisa menjadi Kajari dan Kajati.

Kemudian para Kajari dan Kajati diarahkan untuk menekan kepala desa atau kasus kepala desa disidik oleh pihak Kejaksaan.

Bila kepala desa menyerah, maka Kepala Desa digunakan politisi Nasdem yang dibantu pihak Kejaksaan sebagai alat mobilisasi massa. Inilah yang membuat Nasdem banyak memenangkan pertarungan politik di banyak wilayah.

Baca Juga: Ketum PKB Muhaimin Iskandar Kumpulkan 230 Bakal Calon Kepala Daerah yang Akan Diusung di Makassar

Baca Juga: Profil Lengkap Hibarkah Kurnia, Sosok Dosen Cabul Sekaligus Bos yang Minta Jatah Tidur Bareng Karyawati AD

Tapi dari sekian banyak politisi yang ditekan Nasdem, ada satu dua orang yang berani mengungkapkan kebenaran. Salah satunya adalah Bupati Jepara, Ahmad Marzuki menolak bergabung dengan Nasdem setelah diancam adik Jaksa Agung yang bernama Subroto.

Akhirnya, setelah penolakan Ahmad Marzuki, ia pun dikriminalisasi dan dipenjarakan lewat jaringan gelap Nasdem-Kejaksaan.

Baca Juga: Muhammadiyah Kabupaten Kediri Jawa Timur Tak Ingin Pilkada 2024 Hanya Calon Tunggal Lawan Kotak Kosong

Seandainya semua kader-kader Partai berani menolak seperti Ahmad Marzuki, maka wacana restorasi Nasdem tinggal mimpi. Bayangkan semua partai mengalami korban keganasan Nasdem sebagai predator politik.

Realitas media massa yang punya frekuensi publik dan bertanggung jawab kebenarannya oleh publik malah dijadikan Surya Paloh sebagai media corong Nasdem. Seperti Media Indonesia dan Metro TV yang bungkam saat kasus Johnny G Plate naik atas aksi korupsinya di kasus BAKTI Kominfo.

Baca Juga: Curhatan Desta dan Natasha Rizky pada Quraish Shihab kembali Viral: Beda Memandang Kehidupan dan Keyakinan

Baca Juga: PM Israel Benjamin Netanyahu Sebut Tuntutan Gencatan Senjata Hamas Tak Dapat Diterima

Tak satupun editorial mereka membahas Johny G. Plate. Juga kasus korupsi suami isteri kader Nasdem di Kapuas, Bupati Kapuas Ben Brahim dan isterinya anggota DPR dari fraksi Nasdem.

Mereka ditangkap karena melakukan aksi pungli dan suap lewat SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) atas proyek-proyek. Juga memaksa swasta diberi duit untuk mendapatkan proyek.

Tetapi pihak Media Indonesia dan Metro TV diam seribu bahasa. Beda bila yang terjadi dengan kasus lain yang tak melibatkan Nasdem, maka Nasdem seperti Pahlawan Kesiangan yang ditasbih sebagai “Media Pemburu Koruptor”.

Baca Juga: Korea Selatan Ikut Pelatihan Perang Siber Multinasional yang Dipimpin AS pada 5-11 Mei 2024

Keberadaan Media Indonesia dan Metro TV yang dijadikan alat kepentingan politik dan bisnis gelap Surya Paloh harus digugat. Karena Televisi Metro TV menggunakan frekuensi publik.

Baca Juga: Merasa Dibedakan, Atlet Renang SEA Games I Gede Siman Kritik Pawai Selebrasi Kemenangan Timnas Indonesia U22

Sementara Media Indonesia dibawah hukum UU Pers yang diharuskan menggunakan Kode Etik Jurnalistik di bawah Dewan Pers. Pemberitaan Media Indonesia dan Metro TV seharusnya digunakan untuk kepentingan publik, dengan membawa asas pers yang netral, independen dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Baca Juga: Inilah Stadion Clairefontaine di Prancis, Tempat Indonesia Bertanding Melawan Guinea Babak Playoff Olimpiade

Sengkarutnya media di bawah Surya Paloh seperti mengkhianati darah para mahasiswa 1998, yang berjuang menjadikan Indonesia negara demokrasi, humanis dan cerdas.

Dewan Pers seharusnya meninjau ulang Media Indonesia dan Metro TV terkait pemberitaan-pemberitaannya yang kurang bertanggung jawab, dan hanya digunakan sebagai alat propaganda Nasdem.

Kepada Pak Jokowi, jangan takut terhadap tekanan Surya Paloh karena rakyat berada dibelakang Anda. Suara Surya Paloh semakin tidak terdengar kini.

Baca Juga: Laki-laki Pedagang Siomay Asal Bandung Curi Ratusan Celana Dalam Perempuan di Kota Semarang untuk Puaskan Hasrat Seksnya

Baca Juga: Begini Nasihat Koh Dennis Lim Pada Desta Mahendra tentang Pernikahan dan Perceraian Jadi Sorotan Netizen

Yang didengar adalah orang-orang yang menggunakan hati nuraninya meninggalkan permainan Nasdem yang jorok.

Orang-orang eks Nasdem yang punya nurani seperti Akbar Faisal, Connie Rahakundini, Pak Siswono, Rio Capella, Ni Luh Djelantik dan lain-lain adalah pemegang sejati nilai-nilai Restorasi Indonesia, yang kini dimanipulasi oleh Surya Paloh.

Baca Juga: Setelah Jadi WNI, Maarten Paes: Saya Ingin Menempatkan Indonesia di Peta Sepak Bola Dunia

Korupsi Johnny G Plate yang menyetorkan dana ke Nasdem lewat Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat dan Rp 300 miliar yang diarahkan untuk dirinya sendiri sudah saatnya ditertibkan Aparat Penegak Hukum.

Siapa yang menabur angin akan menuai badai. Siapa yang dulu menggunakan Jaksa Agung untuk melakukan tekanan-tekanan politik, kini berbalik menghadapi tekanan yang sama karena itulah karma politik.

Baca Juga: Direktorat Jenderal Imigrasi Terbitkan 1,5 Juta Buku Paspor Selama Kuartal I Tahun 2023

Baca Juga: Ipswich Town Promosi ke Liga Premier Inggris, Elkan Baggott: Hari yang Luar Biasa

Untuk publik Indonesia, jangan biarkan Surya Paloh sebagai tokoh terbesar oligarki merusak Indonesia. Keputusan tokoh-tokoh nasional seperti Pak Siswono dan Connie Rahakundini untuk meninggalkan Nasdem menyadarkan kita, ada sesuatu yang sangat besar selama ini kita diamkan.

Cabut izin Media Indonesia dan Metro TV bila ingin dunia pers kita sehat. Lindungi Pak Jokowi dari kepungan Surya Paloh. Sudah saatnya restorasi Nasdem digunakan untuk merestorasi Nasdem sendiri.

(Opini oleh: Sulam) ***

Berita Terkait