DECEMBER 9, 2022
Kolom

Alex Runggeary: Kegelisahan I.S. Kijne dan Nurani

image
Alex Runggeaery (foto: koleksi pribadi)

ORBITINDONESIA.COM - Tak banyak orang tahu kalau di Papua, orang orang pada masanya tak pernah sedikitpun menganggap kalau Belanda adalah penjajah.

Mereka baru tahu ketika belajar sejarah Indonesia. Tidak ada poin untuk adu argumen dalam konteks ini karena latar belakang sejarah yang jauh berbeda, bahkan bertolak belakang. 

Belanda membuat rakyat Indonesia menderita. Di tempat lain di sisi Timurnya, rakyat Papua sama sekali diperlakukan berbeda. Faktor pembeda adalah karena kehadiran Gereja yang kuat di negeri yang pada masa itu tak sedikitpun menjanjikan giur ekonomi.

Baca Juga: Alex Runggeary: Budaya dan Perkembangan Zaman, Belajar dari Malioboro

Tanah tandus tak sesubur tanah Jawa dengan rempah melimpah. Belanda menjajakan rempah sampai ke negeri negeri Eropa. Rakyat indonesia ditindas kerja-paksa oleh para bupati pribumi yang residennya orang Belanda [1] Memberi fakta dan rasa Belanda penjajah

Sebaliknya di Papua orang tak mengejar uang dan harta, tapi berdoa dan bekerja dengan tulus dalam bimbingan Gereja. Unsur Pemerintah  Belanda baru masuk jauh dikemudian hari setelah kehadiran gereja.

Gereja memberi dampak luas dalam kehidupan masyarakat. Dari pendidikan  termasuk pendidikan ketrampilan tangan, kesehatan [2] cara hidup sehat lewat percontohan pendidikan anak-anak yang diasramakan, [3] Mengajak ke Gereja dan berbuat baik dari hati yang tulus. 

Baca Juga: Alex Runggeary: Kopi Paling Enak se Dunia

Pada masa seputaran pertengahan jelang akhir tahun 1950an,  pendeta Izak Semuel Kijne ditugaskan mengajar pada Sekolah Pendeta di Serui.

Ia mengamati perkembangan terbaru yang terjadi ditengah masyarakat. Beberapa orang tertarik berbicara dalam kelompok kelompok kecil tentang Indonesia.

Ini terjadi sebagai hasil pengaruh dr. Sam Ratulangie yang walaupun dibuang Belanda ke Serui [4] ia tetap mengajar bidang kesehatan di sekolah perawat dan bekerja di rumah sakit Serui. 

Baca Juga: Alex Runggeary: Soempah Pemoeda, Moeda dan Majoe

Perkembangan masyarakat seperti ini tak terhindarkan sebagai hasil interaksi dalam masyarakat. Jauh sebelum ini beberapa perawat termasuk Silas Papare dikirim ke Jawa untuk sekolah. Semakin memberi ruang pengetahuan yang terbuka tentang Indonesia.

Bisa dibilang, gerakan rakyat Papua yang pro Indonesia berawal dari sini. Inilah yang kemudian memicu semangat pemuda pemudanya berduyun duyun pergi ke Sorong akhir 1950an dan awal 1960an untuk menyeberang ke Indonesia. Dan balik menjadi sukarelawan sewaktu Trikora [5]

I.S Kijne gelisah melihat perkembangan terbaru masyarakat Serui yang bisa dikatakan mewakili rakyat Papua. Biar bagaimanapun jejaring gereja saling sharing infomasi yang sama.

Baca Juga: Alex Runggeary: Candu

"Mereka telah terpengaruh dan senang dengan Indonesia. Mereka tak mengerti apa itu Indonesia." Ini menggelisahkan Kijne.

Kalau boleh meraba kegelisahan hatinya, "Kami sudah bekerja keras membawa mereka melihat terang Tuhan dan juga terang dunia. Tapi ini yang kami mendapatkannya sebagai imbalan"

Indonesia pada masa itu sedang berjuang keras membangun bangsanya sebagai bangsa yang baru merdeka. Kemajuan yang lamban karena terjadi pemberontakan di sana sini. Kehidupan rakyatnya bisa dibilang - memerlukan perjuangan tersendiri.

Baca Juga: Alex Runggeaery: Natal dan Nasi Goreng 1960

Sedangkan di Papua pada masa yang sama, kehidupan orang orang, khususnya di kota kota besar Papua dapat dikatakan stabil [6]. Kalau di kota besar di Jawa, kita dengan mudah menemukan peminta minta. Sebaliknya di Papua, tidak.

Kijne mencatat kegelisahan itu yang kemudian dikenal sebagai Nubuatan, "Saya pulang dengan keyakinan bahwa Tanah dan Bangsa Papua akan dikuasai oleh mereka yang memiliki kepentingan politik atas segala kekayaan dan hasil tanah ini, tetapi mereka tidak akan membangun manusia Papua dengan kasih sayang. Sebab kebenaran dan keadilan akan diputar balikan, sebab banyak hal baru yang membuat orang Papua menyesal, tetapi itu bukan maksud Tuhan karena itu keinginan manusia." [7]

Menurut penelitian ahli Psikologi Paul Ekman, " Manusia Papua memiliki kecederungan alami untuk mengekspresikan emosi mereka melalui ekspresi mikro yang jujur dan tulus" [8]

Baca Juga: KSAL Laksamana TNI Muhammad Ali: Perselisihan Anggota TNI AL dan Oknum Brimob Telah Berakhir Damai

Pembawaan alami mereka adalah punya - nurani. Perilaku dikendalikan oleh bawah sadar - nurani - berbuat baik dan berbudi luhur.

Terbukti perilaku berbagi dengan sesama, atau hidup sosial orang Papua dibilang sangat tinggi. Kemanapun kita pergi, perilaku sosial ini dipertontonkan dengan lugas, tak berpura-pura. Tak perlu pencitraan

Dan ketika hari ini, orang Papua yang telah menjadi orang Indonesia itu diperhadapkan dengan kenyataan bahwa sebagian saudaranya. yang mengendalikan kekuasaan, telah melakukan kecurangan terhadap demokrasi, hukum (keadilan), dan memupuk oligarki sebagai landasan bersama dalam hidup berbangsa dan bernegara.

Baca Juga: Ketua MPR Bambang Soesatyo Dukung Upaya Panglima TNI untuk Tindak Tegas OPM

Menggiring ke tepi jurang. Teriakan para aktivis dan kelompok kecil yang kritis tak lagi didengar. Sebagian besar rakyat hanyut dalam gegap gempita kemegahan semu bersatu mengelu-elukan kecurangan sebagai kebaikan.

Pencitraan yang tentu saja mengandung polesan alias palsu dipuja bagai roh terkena asap sesajen. Pules tertidur dalam jiwa nyenyak

"Biarlah rakyat yang menentukan" Dan rakyat yang tak benar benar paham kemelut kecurangan ini, hanyut bersama air bah masa yang mengagungkan pencitraan. Bersama angin terhembus searah

Baca Juga: Objek Wisata Taman Mangrove Ruar di Biak Numfor Papua Jadi Destinasi Pilihan Libur Lebaran 2024

Sebagai orang Indonesia asal Papua saya gelisah karena baru tahu kalau cara berperilaku tak jujur itu hal biasa di Indonesia. Walau ada sesal ketika merefleksi Nubuatan Kijne, rasa - rasanya seperti kejebak dan tak berdaya.

Namun sebagai orang beriman selalu ada harapan. Harapan terakhir kita semua adalah kepada Tuhan untuk memberikan petunjuk ketika dalam bilik suara pencoblosan pada tanggal 14 Februari 2024.

Pilihlah untuk masa depan Indonesia yang lebih baik. Pilihlah dengan nurani yang bersih. Tidak ikut-ikutan ! Datanglah ramai ramai ke TPS. Satu suara Anda menentukan. Selamat menyoblos!

Baca Juga: Tokoh Adat Papua, Yanto Eluay: Idul Fitri 2024 Momentum Pererat Tali Silaturahim di Kabupaten Jayapura

(Oleh: Alex Runggeary)


Referensi:
[1] Max Havelaar karya Mulatuli/Douwes Dekker
[2] Peresmian Rumah Sakit Umum Dok-2 Holandia dihadiri oleh pihak Gereja 
[3] Pengalaman Penulis
[4] Bekas Rumah dr. Sam Ratulangie masih utuh hingga 1962, saksi mata penulis
[5] The Darkened Valley, novel, Alex Runggeary
[6] Pengamatan penulis di Biak 1954 - 59
[7] Youtub MP Papua Chanel 2020
[8] Kompasiana 17 Nov. 2023 10:03 ***

Sumber: Alex Runggeary

Berita Terkait