Jurus Baru Fiskal dari Purbaya Yudhi Sadewa
Oleh Peter F Gontha, Dodi Abdulkadir dan Tim editor Indonesian National herald
ORBITINDONESIA.COM - Pergantian Sri Mulyani Indrawati dengan Purbaya Yudhi Sadewa sebagai Menteri Keuangan adalah salah satu peristiwa penting dalam sejarah ekonomi Indonesia. Sri Mulyani adalah figur internasional yang dihormati dunia, seorang teknokrat yang menjadi simbol disiplin fiskal dan kredibilitas pasar.
Tidak mengherankan bila kepergiannya menimbulkan guncangan psikologis. Pasar bereaksi, IHSG sempat tergelincir, sementara media internasional ramai menyoroti “akhir dari era Sri Mulyani”.
Namun, di balik rasa kehilangan itu, muncul pula secercah harapan baru. Purbaya Yudhi Sadewa bukanlah orang baru di lingkaran kebijakan ekonomi. Ia adalah seorang teknokrat tulen dengan latar belakang akademik dan pengalaman panjang di sektor keuangan.
Lebih dari itu, publik menaruh ekspektasi bahwa Purbaya akan membawa jurus-jurus baru yang lebih pro-rakyat, menggali potensi fiskal dari sektor-sektor yang selama ini kurang tergarap, tanpa meninggalkan prinsip kehati-hatian.
Latar Belakang Purbaya Yudhi Sadewa
Purbaya lahir di Bogor, Jawa Barat, pada 7 Juli 1964. Ia menyelesaikan pendidikan sarjana di Institut Teknologi Bandung (ITB) pada bidang Teknik Elektro—sebuah fondasi akademik yang melatih kemampuan analitis dan berpikir sistematis. Namun, kecintaannya pada ilmu ekonomi membawanya melanjutkan studi ke Amerika Serikat, tepatnya di Purdue University, tempat ia meraih gelar Master of Science (MSc) dan Doctor of Philosophy (PhD) dalam bidang Ekonomi.
Perpaduan latar belakang teknik dan ekonomi ini membentuknya sebagai figur teknokrat multidisiplin: seorang insinyur yang mampu berpikir logis, tetapi juga ekonom yang menguasai dinamika makro dan mikro. Kombinasi ini jarang dimiliki pejabat publik di Indonesia.
Karier profesionalnya juga berwarna. Purbaya sempat menjadi Direktur Utama Danareksa Securities (2006–2008), yang memberinya pengalaman langsung di dunia pasar modal. Ia lalu dipercaya menjadi anggota Dewan Komisioner LPS, sebelum akhirnya menjabat sebagai Kepala Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sejak 2020 hingga 2025.
Selama lima tahun di LPS, ia memimpin institusi yang vital dalam menjaga stabilitas sistem perbankan, terutama di masa pandemi COVID-19 ketika risiko likuiditas meningkat. Kini, ia diamanahkan menjadi Menteri Keuangan Indonesia sejak 8 September 2025, menggantikan Sri Mulyani.
TANTANGAN BARU: Dari Disiplin ke Inovasi Pro-Rakyat
Sri Mulyani dikenal sebagai penjaga disiplin fiskal. Ia memastikan defisit tetap terkendali, utang dikelola secara hati-hati, dan kredibilitas Indonesia di mata investor global terjaga. Namun, kritik terhadap masa kepemimpinannya juga muncul: bahwa kebijakan fiskal terlalu sering berorientasi pada menjaga market confidence ketimbang secara langsung membongkar ketidakadilan struktural dalam penerimaan negara.
Di sinilah Purbaya diharapkan membawa warna baru. Ia diyakini akan lebih fokus pada penerimaan negara dari sektor-sektor strategis yang selama ini banyak bocor, khususnya industri berbasis sumber daya alam.
Indonesia adalah negeri kaya. Batu bara, nikel, kelapa sawit, gas, hingga hasil pertanian dan perikanan membawa keuntungan besar di pasar global. Namun, realitas pahitnya: sebagian besar keuntungan ini hanya dinikmati segelintir kelompok. Lebih buruk lagi, praktik transfer pricing membuat laba melayang ke yurisdiksi luar negeri, terutama Singapura, sehingga negara kehilangan potensi pajak triliunan rupiah setiap tahun.
Purbaya memahami bahwa masalah ini bukan sekadar soal angka, melainkan soal keadilan. Karena itu, jurus baru yang ditunggu darinya adalah menutup celah kebocoran penerimaan negara: mengejar transfer pricing, menertibkan praktik penghindaran pajak, dan memastikan bahwa kue pembangunan tidak hanya jatuh ke tangan segelintir elite.
Kontrak Sosial Baru dengan Pengusaha
Langkah ini tentu tidak mudah. Para pengusaha besar yang selama dua dekade terakhir menikmati “good times” dari eksploitasi sumber daya alam Indonesia akan merasa tertekan. Margin keuntungan mereka bisa tergerus ketika negara mulai serius menagih haknya.
Namun, inilah bentuk kontrak sosial baru. Para pengusaha harus lebih ikhlas berbagi dengan negara. Mereka tetap boleh mencari keuntungan, tetapi harus dalam kerangka yang adil, transparan, dan pro-rakyat. Karena tanpa kontribusi yang lebih besar dari kelompok yang paling diuntungkan, mustahil Indonesia mencapai kesejahteraan merata.
Di sinilah letak keberanian politik yang harus ditunjukkan Presiden Prabowo. Ia sudah berkali-kali menegaskan komitmennya untuk memimpin dengan agenda pro-rakyat. Kini, bersama Purbaya Yudhi Sadewa, komitmen itu harus diwujudkan dalam kebijakan fiskal yang nyata: pajak yang adil, penerimaan negara yang lebih kuat, dan redistribusi yang berpihak kepada masyarakat luas.
Respons Pasar dan Harapan Publik
Reaksi awal pasar terhadap pengangkatan Purbaya memang negatif. IHSG turun 1,3% pada hari pengumuman, menunjukkan kekhawatiran terhadap hilangnya figur sekelas Sri Mulyani. Namun, stabilisasi cepat pada nilai tukar rupiah menunjukkan pasar tidak sepenuhnya pesimistis. Mereka hanya menunggu kepastian arah kebijakan.
Media internasional seperti Reuters dan Bloomberg lebih banyak menyoroti “akhir era Sri Mulyani”, tetapi di dalam negeri, narasi yang muncul justru beragam. Sebagian menilai Purbaya adalah figur teknokrat rendah hati yang sudah kenyang pengalaman, sementara sebagian lain masih meragukan kapasitasnya mengelola fiskal sebesar Indonesia.
Namun, justru di sinilah peluangnya. Dengan langkah awal yang tegas—misalnya menyampaikan pidato perdana yang menegaskan komitmen menjaga disiplin fiskal sambil menggarap celah penerimaan baru—Purbaya bisa segera mengubah keraguan menjadi kepercayaan.
Kesimpulan: Jurus Baru untuk Keadilan Fiskal
Indonesia tidak bisa selamanya hanya mengandalkan disiplin fiskal gaya lama. Kita membutuhkan keberanian untuk menggali potensi baru, terutama dari kekayaan alam yang selama ini terlalu banyak menguntungkan segelintir kelompok. Purbaya Yudhi Sadewa, dengan latar belakang akademik yang kuat, pengalaman di pasar modal dan LPS, serta reputasi teknokrat yang rendah hati, adalah sosok yang diyakini mampu membawa jurus baru itu.
Editorial ini percaya bahwa langkah awal beliau akan menentukan arah ke depan: apakah Indonesia bisa memasuki era fiskal baru yang lebih pro-rakyat, adil, dan berkelanjutan. Tantangan besar menanti, tetapi kesempatan untuk mencatat sejarah pun terbuka lebar.
*Dicopas dari FB penulis, Peter F. Gontha. ***