Antara Gurun dan Gunung: Mengapa Kereta Saudi 1.500 Km Lebih Murah dari Whoosh Indonesia
Oleh Satrio Arismunandar*
ORBITINDONESIA.COM - Di atas kertas, perbandingan ini tampak janggal: Arab Saudi membangun jalur kereta sepanjang 1.500 kilometer hanya dengan Rp112 triliun, sementara Indonesia menghabiskan sekitar Rp113 triliun untuk Whoosh yang panjangnya 142 kilometer saja**.
Bedanya sepuluh kali lipat. Tapi ketika peta dan konteks dibuka, angka itu mulai masuk akal.
Gurun yang murah, tanah yang tak menuntut
Proyek Saudi Land Bridge menghubungkan pelabuhan Laut Merah di barat dengan Teluk Arab di timur. Jalurnya membentang melintasi hamparan pasir yang sunyi — tanpa kampung, tanpa sawah, tanpa pagar rumah warga.
Di sana, negara adalah pemilik tunggal tanah. Tak perlu negosiasi panjang, tak perlu pembebasan lahan yang berliku, tak ada warga yang harus direlokasi.
Bandingkan dengan jalur Whoosh Jakarta–Bandung, yang menembus kawasan industri dan perumahan padat di Bekasi, Karawang, Purwakarta, hingga Bandung Barat.
Di sinilah sebagian besar biaya membengkak: ganti rugi lahan dan relokasi warga. Pemerintah memperkirakan, sekitar sepertiga anggaran Whoosh terserap hanya untuk lahan.
Gurun Saudi mungkin keras, tapi tanahnya tidak menuntut bayaran.
Jalur cepat vs jalur logistik
Meski sama-sama disebut “kereta modern”, dua proyek ini tak sebanding jenisnya.
Land Bridge adalah kereta barang dan penumpang kecepatan sedang—sekitar 200 km/jam. Fungsinya logistik: memindahkan kontainer dari laut ke laut, mempercepat arus perdagangan.
Sementara Whoosh adalah kereta cepat 350 km/jam, dibangun untuk memperpendek jarak waktu antarkota. Itu artinya jalur harus steril, rata, dan presisi, dengan teknologi tinggi dari Tiongkok. Setiap kilometer rel cepat butuh struktur layang besar, terowongan, sistem sinyal digital, dan pengamanan ekstra.
Kalau Land Bridge seperti jalan tol logistik, Whoosh lebih mirip sirkuit presisi. Mahal karena memang dirancang untuk kecepatan ekstrem.
Medan yang tak bersahabat
Arab Saudi membangun di gurun yang datar dan stabil. Tantangan utamanya hanya panas ekstrem dan logistik material, bukan topografi. Rel bisa dibentang lurus tanpa banyak tikungan atau jembatan.
Sebaliknya, jalur Whoosh harus menaklukkan gunung dan lembah Jawa Barat. Ada lebih dari 16 kilometer terowongan dan ratusan jembatan layang yang mesti dibangun agar kereta bisa melaju lurus di tengah kontur yang berliku.
Setiap meter terowongan menelan miliaran rupiah. Setiap jembatan menambah beban waktu dan biaya.
Siapa yang membayar
Ada juga perbedaan filosofi dalam cara pendanaan.
Saudi Land Bridge didanai langsung oleh Public Investment Fund (PIF) — semacam kas negara raksasa. Tanpa pinjaman, tanpa bunga. Proyek bisa dipacu efisien karena seluruhnya dikendalikan pemerintah.
Whoosh, sebaliknya, dikerjakan oleh PT KCIC, perusahaan patungan Indonesia–Tiongkok, dengan porsi besar pembiayaan lewat pinjaman luar negeri.
Setiap biaya pinjaman menambah beban bunga, manajemen proyek multinasional membuat koordinasi lebih rumit, dan komponen teknologi sebagian besar impor.
Antara efisiensi dan realitas
Bila diringkas, Saudi lebih murah bukan karena mereka lebih pintar, tapi karena mereka membangun di tempat yang lebih sederhana.
Indonesia membangun kereta cepat di salah satu wilayah terpadat dan paling bergelombang di Asia Tenggara, dengan standar teknologi tinggi dan kompleksitas sosial-ekonomi yang tak bisa dihindari.
Gurun memberi ruang, gunung memberi tantangan.
Saudi membentang rel di tanah yang diam. Indonesia menggali rel di tanah yang hidup — penuh manusia, sawah, pasar, dan harapan.
Dan di antara dua dunia itu, harga memang berbicara beda bahasa.
*Satrio Arimunandar, wartawan, insinyur lulusan Elektro FTUI. WA: 081286299061. ***