Catatan Denny JA: Mengapa Penghargaan Sastra dari BRICS Dapat Sejajar dengan Nobel Sastra
Oleh Denny JA
ORBITINDONESIA.COM - Jangan biarkan Nobel Sastra menjadi satu-satunya kiblat sastra dunia.
Sudah lebih dari satu abad, dunia seolah tunduk pada satu mercusuar tunggal dalam menilai keagungan sastra—Nobel Prize in Literature.
Setiap tahun, dunia menunggu dari Stockholm: siapa yang kali ini dianggap paling layak menjadi suara kemanusiaan?
Namun, ketika satu pusat menjadi segalanya, dunia kehilangan keseimbangannya.
Sastra seharusnya bukan monarki nilai yang dikendalikan dari satu kutub peradaban. Sastra adalah percakapan tanpa pusat, di mana setiap bahasa, setiap luka, setiap keindahan manusia mendapat tempat untuk didengar.
Di sinilah BRICS Literature Award hadir—bukan untuk menggulingkan Nobel, melainkan untuk melengkapinya.
Ia memberikan arah baru bagi sastra dunia yang lebih beragam, lebih manusiawi, dan lebih adil.
-000-
BRICS adalah aliansi ekonomi dan budaya yang terdiri dari Brazil, Rusia, India, China, dan South Africa. Ini lima negara besar yang mewakili semangat Dunia Selatan (the Global South).
Dalam perkembangannya, BRICS kini telah diperluas menjadi BRICS+, yang juga mencakup Indonesia, Iran, Mesir, Ethiopia, dan Uni Emirat Arab (UAE).
Bersama, negara-negara ini menampung lebih dari 45% penduduk dunia. Ini hampir setengah umat manusia.
BRICS bukan sekadar kekuatan ekonomi alternatif terhadap G7, tetapi kini menjadi sumbu baru peradaban global.
Ini tempat nilai-nilai lama dan modern berpadu, dan tempat suara-suara yang dulu terpinggirkan menemukan ruangnya.
Dari semangat inilah Penghargaan Sastra BRICS lahir. Ia sebuah penghargaan yang ingin menyoroti karya-karya sastra dari negara-negara yang selama ini dianggap “pinggiran” oleh dunia Barat.
Padahal di wilayah ini denyut kemanusiaan juga berdegup, dengan kuat.
-000-
Tiga alasan mengapa penghargaan satra dari BRICS dapat sejajar dengan nobel sastra.
Pertama, Karena BRICS Adalah Suara dari Dunia yang Lain
Selama lebih dari seratus tahun, peta sastra dunia dipahat oleh gema satu belahan bumi: Eropa dan Amerika Utara. Paris, London, dan New York menjadi penentu standar tentang apa yang dianggap universal.
Namun, “universal” sering kali hanyalah nama lain dari dominasi.
BRICS datang membawa kompas baru—yang menunjuk ke Selatan. Ia mengingatkan kita bahwa kisah manusia tidak lahir hanya di kafe-kafe Eropa.
Tetapi ia juga tumbuh di sawah-sawah Jawa, di savana Afrika, di favelas Brasil, dan di desa-desa kuno sepanjang Sungai Yangtze.
Sastra BRICS adalah suara dunia yang selama ini diabaikan. Ia suara para korban kolonialisme, pekerja migran, masyarakat adat, dan perempuan yang berjuang di pinggiran kekuasaan.
Dengan memajukan sastra BRICS, kita mengembalikan keseimbangan gravitasi narasi dunia.
Kita menyatakan dengan lantang:
Selatan bukan wilayah yang perlu dikaji;
Selatan adalah paduan suara yang harus didengar.
Ketika dunia membaca karya dari BRICS, mereka tidak hanya menemukan karakter baru. Mereka menemukan kembali kemanusiaan mereka sendiri.
Dalam konteks teori sastra dunia, Pascale Casanova dalam The World Republic of Letters (2004) menyebut perlunya decentering of world literature.
Ini upaya menggeser pusat legitimasi dari Paris, London, atau New York menuju ruang-ruang baru. BRICS adalah wujud konkret pergeseran itu: keseimbangan baru dalam peta imajinasi global.
-000-
Kedua, Karena Sastra Adalah Diplomasi yang Paling Lembut, Namun Paling Kuat
Di zaman ketika politik global dibatasi oleh sanksi dan tembok, sastra bergerak diam-diam. Ia melewati halaman buku, menembus hati, dan menghubungkan empati.
Sebuah novel dari Teheran bisa menyentuh pembaca di Johannesburg.
Sebuah puisi dari St. Petersburg bisa menghibur jiwa di Jakarta.
BRICS dapat menjadi rumah penerjemahan dan perasaan, tempat bangsa-bangsa bertemu bukan di ruang konferensi, tapi dalam metafora dan kenangan.
Perjanjian ekonomi bisa usang, aliansi politik bisa bergeser. Tapi satu puisi yang menggetarkan hati lintas bangsa akan bertahan jauh lebih lama dari diplomasi apa pun.
Jika G7 berbicara lewat kebijakan, maka BRICS dapat berbicara lewat puisi.
Jika Barat membangun soft power lewat hiburan,
maka Dunia Selatan membangunnya lewat pencerahan.
Sastra, pada puncaknya, bukanlah propaganda. Ia adalah penyingkapan.
Ia mengingatkan kita bahwa di balik setiap batas negara,
ada jiwa manusia lain yang tak berbeda dengan kita.
-000-
Ketiga, Karena BRICS Dapat Menjadi Nobel Baru, Namun Nobel bagi Empati
Saya mengatakan ini dengan keyakinan:
Penghargaan Sastra BRICS, pada waktunya, dapat sejajar dengan Nobel Sastra.
Bukan sebagai saingan,
tetapi sebagai pelengkap yang dibutuhkan zaman.
Nobel tumbuh dari tradisi moral Eropa—dari filsafat rasionalisme dan humanisme.
Namun BRICS lahir dari jiwa Global South, dari berabad penderitaan, keimanan, dan kelahiran kembali.
Jika Nobel menghormati kecemerlangan individu,
BRICS dapat menghormati imajinasi kolektif,
yakni keberanian bersama bangsa-bangsa
yang mengubah luka menjadi lagu.
Ia bukan hanya merayakan kepiawaian seorang penulis,
tetapi juga daya tahan suatu bangsa.
Sebab di Selatan, menulis sering kali adalah tindakan perlawanan;
menerbitkan adalah tindakan harapan;
dan bermimpi, di tengah ketimpangan, adalah tindakan iman.
Bayangkan novel dari India berdialog dengan puisi dari Cina, pantun dari Indonesia, dan dongeng dari Afrika Selatan. Ini karya yang dari rahim penderitan kolonial dan revolusi. BRICS.
Dengan dana terjemahan lintas-bahasa dan residensi penulis, ia dapat mengubah sastra yang selama ini menjadi “monolog” dan dominasi Barat menjadi simfoni global.
Atau dengan menggandeng Al, BRICS+ dapat mentransformasi batas bahasa: karya sastra dari Rio hingga Jakarta diterjemahkan serentak ke 50+ bahasa.
Karya terjemahan ini dapat disebarkan via platform digital. Teknologi ini tak hanya demokratisasi akses, tetapi juga menjadikan metafora lokal sebagai milik global.
Ini sebuah revolusi literasi yang mengubah "pinggiran" menjadi pusat imajinasi dunia.
Hasilnya, karya sastra ikut menjadi jembatan peradaban dunia secara lebih setara.
Jika Nobel mengajarkan dunia untuk berpikir, maka BRICS akan mengajarkan dunia untuk merasakan.
Dan melalui rasa itulah, yang mendalam, inklusif, dan manusiawi, pusat kesadaran global baru sedang tumbuh.
-000-
Saya datang dari Indonesia,
tanah di mana gunung berapi dan doa berbagi napas yang sama.
Ini tempat di mana rakyatnya masih percaya
bahwa satu kata, bila diucapkan dengan kejujuran,
dapat mengubah takdir.
Bagi saya, BRICS bukan sekadar aliansi ekonomi;
ia adalah jembatan antarjiwa.
Sebuah pertemuan peradaban
yang tidak bersaing untuk dominasi,
tetapi untuk saling memahami.
Melalui BRICS, mari kita tunjukkan
bahwa sastra bukanlah kemewahan bagi waktu damai,
melainkan benih bagi kedamaian itu sendiri.
Mari kita menulis dalam bahasa kasih,
menerjemahkan bukan hanya kata-kata, tetapi dunia.
Sebab imajinasi juga adalah bentuk keadilan.
Dan setelah kerajaan-kerajaan runtuh,
setelah pasar-pasar berubah debu,
yang tersisa adalah kisah.
Melalui kisah itulah,
kita akan mengingat siapa kita dulu, siapa kita sekarang. Dan siapa kita di masa datang. *
Jakarta, 26 Oktober 2025
REFERENSI
1. West-Pavlov, R. (2018). The Global South and Literature. Cambridge University Press.
2. Tenngart, P. (2023). The Nobel Prize and the Formation of Contemporary World Literature. Bloomsbury Academic.
-000-
Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World
https://www.facebook.com/share/p/1FvxbYF1CT/?mibextid=wwXIfr ***