Analisis: Singapura Menjatuhkan Sanksi pada Ekstremis Israel, Tanda Perubahan Arah Diplomasi Asia?

ORBITINDONESIA.COM - Keputusan Singapura menjatuhkan sanksi finansial dan melarang masuk empat warga Israel pada 21 Februari 2025 terasa seperti angin yang berembus dari arah yang tidak biasa.

Negara kecil yang selama ini dikenal berhati-hati, presisi dalam diplomasi, dan cenderung menghindari langkah frontal dalam isu geopolitik sensitif, tiba-tiba mengambil posisi tegas terhadap kekerasan pemukim ekstremis Israel di Tepi Barat.

Langkah ini bukan hanya mengejutkan; ia mengirimkan sinyal bahwa dunia—termasuk Asia Tenggara—mulai bersuara lantang terhadap praktik-praktik brutal di wilayah pendudukan Palestina.

Keempat individu yang disanksi—Meir Mordechai Ettinger, Elisha Yered, Ben-Zion Gopstein, dan Baruch Marzel—bukan nama asing dalam daftar panjang aktor kekerasan ekstremis Yahudi. Mereka dituduh melakukan tindakan yang oleh Kementerian Luar Negeri Singapura disebut sebagai “egregious acts of extreme violence” terhadap warga Palestina.

Singapura menilai aksi-aksi tersebut bukan sekadar kriminal, tetapi secara langsung merusak prospek solusi dua negara yang selama ini dianggap sebagai satu-satunya jalan realistis menuju perdamaian.

Yang membuat keputusan ini istimewa adalah konteksnya. Sanksi datang pada saat dunia sedang terguncang oleh dampak perang Gaza dan tuduhan genosida terhadap Israel.

Ketika perhatian global terfokus pada serangan udara, ribuan korban sipil, dan kehancuran yang tampak di Gaza, tragedi yang lebih senyap namun tak kalah mengerikan berlangsung di Tepi Barat: pengusiran warga Palestina dari kampung halamannya, pembakaran rumah, penyerangan brutal, hingga intimidasi yang membuat banyak keluarga hidup dalam ketakutan sehari-hari.

Kedua wilayah ini, meski terpisah secara geografis, berada dalam pusaran kekerasan yang sama—sebuah konsekuensi dari pendudukan yang telah berlangsung lebih dari setengah abad.

Dalam kerangka inilah langkah Singapura terasa seperti perubahan mood internasional. Biasanya, negara-negara Asia Tenggara memilih pendekatan diplomatik yang aman dan tidak konfrontatif dalam isu Israel–Palestina. Namun kali ini, Singapura memperlihatkan sesuatu yang lain: sebuah ketegasan moral yang jarang muncul di kawasan.

Langkah sanksi ini bukan hanya soal empat nama, melainkan tentang memperjelas batas—bahwa kekerasan ekstremis yang menarget warga sipil tidak dapat dibiarkan tanpa konsekuensi.

Di sisi lain, tindakan Singapura mencerminkan dinamika global yang sedang bergeser. Israel, yang selama ini menikmati toleransi besar dari banyak negara, kini menghadapi kritik terbuka dari berbagai belahan dunia.

Negara-negara Eropa mengutuk, Amerika Serikat—meski masih menjadi pendukung utama—mulai merasakan tekanan domestik, dan kini Asia Tenggara ikut menunjukkan ketidaksenangan melalui langkah-langkah konkret. Semakin lama, Israel tampak semakin terisolasi oleh tindakan aktor non-negara yang berasal dari dalam wilayah pendudukannya sendiri.

Namun, dalam setiap langkah tegas selalu ada risiko. Singapura tentu telah menimbang dampaknya terhadap hubungan dagang, keamanan, dan diplomatiknya dengan Israel—mitra yang selama ini bekerja sama dalam teknologi dan pertahanan.

Tetapi keputusan ini menunjukkan bahwa bagi Singapura, ada batas yang tidak boleh dilewati. Kekerasan ekstrem terhadap warga sipil, dalam perspektif hukum internasional, adalah pelanggaran yang tidak bisa dinegosiasikan.

Pada akhirnya, keputusan Singapura ini bukan sekadar bab kecil dalam hubungan bilateral negara-negara Asia dengan Israel. Ia menggambarkan sebuah momen penting, ketika norma internasional yang selama ini tampak rapuh mulai ditegakkan dari arah yang tak disangka-sangka.

Dan siapa tahu, langkah kecil dari sebuah negara pulau yang disiplin dan pragmatis ini dapat menjadi pemicu bagi negara lain untuk mengambil sikap serupa—mendorong dunia menuju penegakan hukum yang lebih konsisten dan penghormatan terhadap hak asasi manusia tanpa pandang bulu.***