DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Bahaya Populisme Islam dalam Politik Indonesia

image
Syaefudin Simon dan Usman Kansong (Kanan)

(Catatan dari Disertasi Usman Kansong yang dipertahankan di FISIP UI, Senin, 18 Juli 2022).

Oleh: Syaefudin Simon, Kolumnis

Umat terbelah. Publik tertekan. Pendukung Ahok terintimidasi. Ahok dicap penista agama. Ahok adalah kafir. Ahok haram jadi gubernur Jakarta. Itulah suasana kampanye Pilkada DKI 2017 lalu.

Baca Juga: Gubernur Rohidin Mersyah: 200 Tahun Traktat London Jadi Momentum Bengkulu untuk Makin Strategis

Betapa tidak! Spanduk bertebaran di masjid dan mushala dengan tulisan mengancam. Siapa yang pilih Ahok, jika mati mayatnya haram disalatkan. Orang Islam haram memilih orang kafir dan penista agama untuk menjadi pimpinan daerah.

Begitulah strategi kampanye Anies-Sandi dalam Pilkada DKI 2017. Hasilnya, Anies-Sandi menang. Mengalahkan Ahok-Djarot.

Baca Juga: Ratusan Siswa Miskin Terancam Putus Sekolah di Depok, DKR Minta Ridwan Kamil Segera Turun Tangan

Baca Juga: Senator AS dari Partai Republik Ancam Sanksi Keras ICC Jika Perintahkan Tangkap PM Israel Benjamin Netanyahu

Memberitakan kemenangan Anies-Sandi, koran USA Today menulis: Pemilih Muslim Memecat Gubernur Jakarta yang Kristen." Majalah The Economist, mengulas Pilkada DKI dengan judul The Puzzle of Political Islam. Sedangkan Al- Jazeera, menyimpulkan sentimen Islam menjadikan Anies-Sandi menang.

Usman bercerita, saat mewawancarai Anies, ia menanyakan, kenapa berkampanye dengan mengusung populisme Islam?

Kenapa Anies tidak berkampanye seperti Richard Nixon saat melawan JF Kennedy atau McCain saat melawan Obama? Keduanya menghindari kampanye populisme demi mencegah polarisasi publik AS.

Baca Juga: Selasa Ini, Vladimir Putin Akan Dilantik Sebagai Presiden Rusia untuk Masa Jabatan ke-5

Catatan, saat itu, Nixon yang Protestan -- mayoritas di AS -- bisa saja memukul telak Kennedy yang Katolik, agama minoritas di sana dengan strategi kampanye populisme. Tapi Nixon tidak melakukannya demi mencegah keterbelahan rakyat.

Baca Juga: Ketampanan Nabi Muhammad SAW dan Nabi Yusuf

Dan kita tahu, Kennedy akhirnya menang. Hal yang sama terjadi pada McCain dan Obama. McCain menolak untuk berkampanye rasisme atau populisme kulit putih dengan menonjok Obama yang berkulit hitam dan keturunan Afrika.

Baca Juga: Diberi Tiket Gratis, Klub Qatar Al Duhail FC Minta Bantuan Dukungan Suporter Indonesia

McCain menghindari kampanye macam itu demi menjaga persatuan Amerika. Kata Mc Cain, bagaimana pun Obama adalah warga negara AS dan punya hak untuk dipilih sebagai presiden. Hasilnya, Obama menang.

Ketika hal itu ditanyakan Usman kepada Anies, jawab sang gubernur: Siapa yang menang? Maksudnya, kekalahan kedua capres AS tersebut karena tidak melakukan kampanye populisme.

Bayangkan, seandainya Anies menjadi capres, niscaya kampanyenya akan mengusung populisme Islam. Ia telah merasakan keberhasilannya.

Baca Juga: Berani Berantas Mafia Tanah, FKMTI Apresiasi Menteri ATR BPN Hadi Tjahjanto

Baca Juga: Indonesia Usul Pemotongan Pembayaran Proyek Jet Tempur KF-21 dengan Korea Selatan Sehingga Jadi Rp7 Triliun

Sayangnya, sikap Nixon dan Mc Cain itu kemudian diobrak-abrik Donald Trump, yang berkampanye menggunakan strategi populisme. Dan publik Amerika pun terbelah.

Dalam merayakan keunggulannya di Pilkada DKI, Anies sekali lagi menyatakan bahwa keberhasilannya menduduki orang nomor satu di Jakarta adalah kemenangan pribumi. Kata pribumi, menurut Usman, adalah bagian dari narasi politik populisme.

Anies ingin menunjukkan bahwa Ahok bukanlah pribumi. Karena Ahok bukan orang asli Indonesia. Kata pribumi yang disebutkan Anies, kemudian "bergerak liar" sehingga menjadi slogan penting dalam politik populisme Islam.

Baca Juga: Piala Asia Putri U17: Indonesia Dipermalukan Filipina

Maka, pribumi pun identik rakyat. Pribumi identik kaum tertindas. Dan pribumi identik muslim.

Baca Juga: TNI AU Sudah Gunakan Pesawat T-50 Golden Eagle Sejak 2013

Dalam pidato pengukuhannya sebagai Gubernur DKI Anies menyatakan: "Dulu kita semua pribumi, ditindas dan dikalahkan. Kini telah merdeka. Kini saatnya kita jadi tuan rumah di negeri sendiri".

Baca Juga: China Respons Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr yang Tolak Gunakan Meriam Air di Kapal Penjaga Pantai

Politik identitas yang mengusung populisme Islam inilah yang dibahas panjang lebar dalam disertasi Usman Kansong, wartawan senior yang kini Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kemkominfo, dalam disertasinya: "Mediatisasi Populisme Islam di Pilkada DKI 2017 (Pendekatan Struktural)".

Disertasi Usman ini membedah, seberapa jauh pengaruh media terhadap kehidupan masyarakat, terutama dalam politik.

Makin penting dan meningkatnya peran media dalam kehidupan disebut mediatisasi (mediatization). Lebih jauh, kian penting dan meningkatnya media dalam kehidupan politik disebut mediatisasi politik (mediatization of politics).

Baca Juga: Liga Inggris: Dikalahkan Crystal Palace, Manchester United Keluar dari Zona Eropa

Baca Juga: Kasus Polisi Tembak Polisi, Dewan Pers dan PWI Dorong Wartawan Lakukan Liputan Investigatif

Usman mengambil sampel tiga media, harian Republika, Detik com, dan MetroTV dalam mediatisasi Pilkada DKI tadi. Kesimpulannya: Republika melegitimasi dan mengglorifikasi populisme Islam. Republika pro populisme Islam.

Sedangkan Detik.com bermain aman, menjaga stabilitas dan keseimbangan yang oleh Giddens disebut ontological security. Karena populisme Islam menyebabkan polarisasi masyarakat, pilihan detik.com ini sama dengan membiarkan keterbelahan publik terjadi.

Baca Juga: Ganjar Pranowo Deklarasikan Diri Jadi Oposisi di Kabinet Prabowo-Gibran untuk Tegakkan Keseimbangan

Adapun Metro TV, simpul Usman, melawan gerakan populisme tersebut. Tindakan Metro TV ini, tulis Usman, menimbulkan resistensi dari kalangan populis muslim. Dampaknya, berita-berita Metro TV dideligitimasi mereka.

Di era reformasi, tulis Usman, populisme Islam cenderung digunakan untuk merebut kekuasaan politik dari tangan kalangan nasionalis, Tionghoa, atau Kristen dengan menjadikan demokrasi sebagai jalan. Mereka memainkan strategi demokrasi.

Baca Juga: Belum Daftar PSE di Kemenkominfo, Google Bakal Dihapus, Ini Alternatif Penggantinya

Baca Juga: Anindito Aditomo: Literasi Siswa tentang AI Jadi Kunci Mencapai Peningkatan Mutu dan Kecakapan di Era Digital

Kelompok Islamis seperti Front Pembela Islam (FPI), HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) dan Salafi Wahabi menggunakan keterbukaan di era transisi demokrasi untuk mengonsolidasikan diri sebagai aktor penting dalam arena -- apa yang disebut Mietzner -- sebagai religio-politik.

Agensi politik populis muslim bahkan mendirikan partai politik bernama Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang mengikuti Pemilu untuk mendapatkan posisi di kekuasaan politik.

Lalu, bagaimana dengan Pemilu dan Pilpres 2024? Memang ada upaya pimpinan partai politik untuk menghentikan kampanye model populisme tersebut -- jelas Usman. Tapi apakah syahwat politik bisa meredamnya?

Baca Juga: KPU Kota Cirebon Mulai 5 Mei 2024 Buka Pendaftaran Calon Perseorangan pada Pilkada 2024

Itulah yang jadi keprihatinan kita bangsa Indonesia di masa datang. Pinjam istilah Youtuber Denny Siregar -- cukuplah politik populisme Islam terjadi di Pilkada DKI 2017 saja. No more. Politik populisme Islam terbukti telah memecah belah rakyat Indonesia.

Baca Juga: Jennie BLACKPINK Muncul di Teaser The Idol Garapan HBO, Kapan Tayangnya?

Akhirnya, mengusung politik populisme Islam cukup terjadi sekali saja. Kecelakaan di DKI 2017 yang sangat membahayakan dan destruktif jangan terjadi lagi di mana pun.

Baca Juga: Bupati Ahmad Muhdlor Ali Dijadwalkan Penuhi Panggilan KPK Terkait Kasus Korupsi di BPPD Sidoarjo Jawa Timur

Jangan sampai terulang lagi jika kita menginginkan bangsa Indonesia tetap bersatu. Bersatu dalam NKRI. ***

Berita Terkait