DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Konflik di Maluku 1999/2002 dalam Puisi Esai Denny JA, BIARLAH REBANA DAN TOTOBUANG KEMBALI BERSANDING

image
Jack Manuputty Memberi Apresiasi Puisi Esai Deny JA.

Oleh Jacky Manuputty*

ORBITINDONESIA - Melalui untaian larik-larik bermajas, Denny JA menghidupkan kembali ‘titik balik’ dari konflik kemanusiaan berwajah agama yang telah menubuhkan luka dalam rajutan kekerabatan orang-orang Maluku.

Baca Juga: Liga Inggris: Sheffield United Jadi Tim Pertama yang Terdegradasi

"Konflik Maluku" membuktikan betapa digdayanya agama ketika digunakan untuk memprovokasi konflik dan melanggengkannya.

Dimulai pada 19 Januari 1999, dan berlangsung selama lebih dari tiga tahun, konflik kekerasan antara orang Kristen dan muslim pecah di Kota Ambon, ibu kota Maluku, dan di pulau- pulau Maluku lainnya.

Baca Juga: Konflik Sampit 2002, Dayak Melawan Madura dalam Puisi Esai Denny JA: Amarah Terpendam, Kesedihan yang Puitis

Baca Juga: Liga 1: Persib Bandung Pastikan Masuk ke Championship Series

Dalam beberapa hari, kecelakaan kecil antara seorang pengemudi minibus publik Kristen setempat dan dua imigran muslim meledak menjadi "konflik agama" yang luar biasa dan mencabik-cabik kedamaian di Maluku.

Kekerasan meningkat dengan cepat dan memobilisasi orang-orang dari kedua belah pihak, baik untuk melarikan diri ke tempat yang aman, atau untuk mendukung kelompok mereka dengan bergabung dalam pertempuran.

Di kedua sisi orang mempersenjatai diri dengan senjata rakitan, kemudian berkembang menjadi senapan mesin berat, bom rakitan, hingga granat dan mortir.

Baca Juga: Megawati Sampaikan Surat Amicus Curiae atau Sahabat Pengadilan ke Mahkamah Konstitusi: Semoga MK Bukan Ketok Palu Godam

Seluruh wilayah itu secara ketat terbagi menjadi wilayah Kristen dan juga wilayah Islam.

Baca Juga: Perkosaan Massal di Kerusuhan Mei 98 Jakarta dalam Puisi Esai Denny JA, DARI SEJARAH YANG DILUPAKAN

Tidak ada keraguan bahwa elemen yang menonjol sejak awal konflik adalah agama.

Baca Juga: Presiden Jokowi Menikmati Libur Idulfitri Bersama Cucunya di Objek Wisata Satwa Deli Serdang

Meskipun bisa dibilang tidak ada cara untuk mengkategorikannya hanya sebagai konflik agama, orang tidak dapat menyangkal bahwa agama berkontribusi besar terhadapnya.

Elemen agama memusatkan energi dari seluruh periode konflik dan membenarkan serangan yang berkepanjangan. Pada akhirnya, agama dibenarkan perannya ketika mereka menyebut konflik itu sebagai perang suci.

Dari banyak menara mesjid, perintah untuk berjihad hampir selalu diteriakkan. Sementara di dalam banyak Gereja, para pendeta berdoa untuk pejuang Kristen sambil memberkati mereka sebelum pergi berperang.

Baca Juga: Todung Mulya Lubis: TPN Ganjar-Mahfud Minta Mahkamah Konstitusi Hadirkan Kapolri Dalam Sidang PHPU Pilpres

Baca Juga: Denny JA: Satupena Teruskan Tradisi Menghargai Penulis Berdedikasi Lewat Satupena Award

Alquran dan juga Alkitab, serta interpretasi dari teks-teks suci ini digunakan untuk membenarkan kekerasan dan hak untuk membunuh orang kafir.

“Ini adalah perang suci, dan kita harus membela agama kita dari musuh-musuhnya,” itulah yang diyakini kebanyakan orang selama konflik.

Baca Juga: Sidang Komite Disiplin PSSI: Persita Tangerang, Persebaya Surabaya, PSS Sleman Didenda Seratusan Juta

Oleh karena itu, sebagian besar simbol-simbol agama, meskipun merupakan simbol perdamaian, diinterpretasi ulang dan mendapatkan makna baru untuk menyulut konflik.

Kata “shalom” yang berarti “damai” telah digunakan dalam kelompok-kelompok Kristen untuk menggelorakan solidaritas kelompok ketika mereka pergi ke medan perang.

Setiap kali terdengar orang-orang meneriakkan “shalom,” itulah penanda bahwa para pejuang Kristen siap untuk berperang melawan musuh- musuh mereka.

Baca Juga: New Year Gaza 24 B

Di sisi lain, ketika umat Islam memekikkan, “All?hu Akbar” yang berarti “Allah Maha Besar”, maka itulah juga tanda bahwa mereka sedang berbaris untuk berperang.

Tidak ada tokoh lain yang menonjol di medan pertempuran selain seorang pemimpin agama yang mampu menafsirkan doktrin perang dan membenarkan bahwa Tuhan menghendaki perang suci melawan orang-orang kafir.

Baik pejuang muslim maupun Kristen tidak akan berangkat ke medan perang tanpa restu dari para pemimpin agama mereka; jika tidak, tidak ada berkah sebelum pemimpin mengutip beberapa ayat kitab suci mereka atas nama Tuhan.

Baca Juga: DKI Jakarta Temukan Ratusan Penerima Kartu Jakarta Mahasiswa Unggul tidak Sesuai Data

Tidak bisa disangkal bahwa agama telah tampil dengan cara yang amat mengerikan selama periode konflik Maluku.

Akibatnya, kekerasan besar-besaran meletus dan berlanjut, menyebabkan ribuan luka dan kematian. Jumlah korban tewas meningkat menjadi lebih kurang 9.000 orang di kedua sisi, dan pengungsian internal mencapai sekitar 350.000, sepertiga hingga setengah dari total populasi provinsi.

Konflik barbar itu tidak meninggalkan apa-apa selain bencana. Setelah empat tahun, masyarakat Maluku telah mengalami kehancuran tragis dalam skala besar.

Baca Juga: Hasil Rapat Rekapitulasi, KPU RI Sahkan Prabowo-Gibran Unggul di Kalimantan Barat

Konflik ini menghancurkan tidak hanya bangunan, termasuk fasilitas umum dan pemukiman, tetapi juga struktur sosial, nilai-nilai moral, dan hubungan dasar.

Komunitas dipisahkan oleh agama, tidak hanya oleh lokasi tempat tinggal mereka, tetapi juga oleh mentalitas masing-masing. Selain itu, komunitas terkondisikan dalam pengalaman trauma yang berkepanjangan.

Hubungan di antara kelompok-kelompok agama lokal ini ditandai oleh kecurigaan, ketidakpercayaan, dan kesalahpahaman.

Baca Juga: KBRI Tokyo Kawal Penanganan 20 Warga Indonesia Anak Buah Kapal Jepang Fukuei-Maru yang Kandas di Izu

Selain itu, kekerasan yang berkepanjangan mencederai tradisi budaya lokal tentang kerja sama antaragama, seperti pela-gandong ("sistem aliansi antar-etnis/desa") dan salam- sarane ("persatuan Muslim-Kristen") yang sumber daya budayanya telah berkontribusi pada koeksistensi damai antara muslim dan Kristen Ambon/Maluku selama ratusan tahun.

Bagaimanapun juga, tak ada yang dimenangkan dari konflik itu. “Kalah jadi abu, menang jadi arang,” kata para leluhur.

Selalu ada jalan pulang, titik balik bagi yang tersesat, hal mana dituturkan Denny JA dalam syair “Titik Balik Pendeta dan Bambu Gila.”

Baca Juga: Liga 1: Petik Hasil Seri Melawan Bhayangkara FC, Arema FC Merangkak Naik Satu Peringkat

Melalui untaian larik-larik bermajas, Denny JA menghidupkan kembali ‘titik balik’ dari konflik kemanusiaan berwajah agama yang telah menubuhkan luka dalam rajutan kekerabatan orang-orang Maluku.

Menyandingkan sequence damai dengan dinamika konflik dalam syair-syair ini sesungguhnya penting untuk memperoleh rekaman utuh dari proses transformasi konflik.

Banyak kajian mengenai konflik Maluku cenderung memfokuskan diri pada analisa konflik serta penyebab-penyebabnya, dan tak banyak menelisik dinamika perdamaian.

Baca Juga: Lewat Sebuah Diskusi Berdua: Inilah Alasan Denny JA Memilih Berdiri di Samping Presiden Jokowi

Syair-syair Denny JA menawarkan pendekatan yang utuh dengan memotret proses transformasi aktor dari konflik ke perdamaian. Kisah-kisah titik balik adalah bentuk narasi damai yang inspiratif, memiliki dampak dan daya tarik yang sama dengan drama konflik.

Penyesalan memang selalu terlambat datangnya, namun penyesalan menyumbang vitalitas yang cukup pada sebuah titik balik serta pemulihan.

Pendeta Robert mengalaminya, begitu pula Walid ataupun Adrian, para tokoh dalam lima syair Denny JA tentang konflik dan perdamaian di Maluku.

Baca Juga: Diskusi Satupena, Satrio Arismunandar: Pers Bukan Sekadar Pilar Demokrasi, Namun Juga Ikut Bermain Politik

Memotret penyesalan dan mengabadikannya memang diperlukan untuk membangun memori kolektif tentang perdamaian, sekaligus menegaskan tekad untuk tidak mengulangi kebodohan.

Ronald Regang, mantan tentara anak di pihak Kristen yang diangkat Denny JA dalam syairnya tentang titik balik, selalu katakan, “jangan melakukan glorifikasi kekerasan atas nama agama.

Kami di Maluku telah merasakannya dan membayar harganya dengan sangat mahal.”

Baca Juga: Liga 1: Kalahkan Tuan Rumah Persikabo 1973, Borneo FC Kian Kukuh di Puncak Klasemen

Kini Maluku telah kembali bernyanyi. ‘Orang Basudara’ (orang bersaudara) sudah ulurkan tangan dan berpelukan. ‘Kain Gandong’ digelar lagi untuk satukan perbedaan antar sesama saudara.

"Ambon Setelah Konflik Reda" adalah cerita membayar hutang, hutang peradaban yang dihancurkan atas nama agama.

Getaran hati Sunu di malam Natal, dalam syair Denny JA tentang kondisi pasca- konflik, adalah getaran hati seluruh masyarakat Maluku yang tak henti membayar hutang dari kebodohan dan kesia-siaan konflik di masa lalu.

Baca Juga: Real Madrid dan Mbappe Sedang Berunding Kontrak

Kini rebana (instrumen musik tabuh di komunitas muslim) dan totobuang (instrumen musik tabuh di komunitas Kristen) kembali bersanding dalam rampak yang indah.

Agama kembali diwajahkan dengan sejuk dan damai di Maluku, meresapi dan membalut hati-hati yang luka, sambil menginspirasi anak- anak Maluku untuk menghadirkan rahmat dan shalom bagi semesta. ***

*Jacky Manuputty adalah Pendeta Gereja Protestan Maluku yang juga Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI).

Baca Juga: Liga Inggris: Manchester United Dekati Empat Besar Usai Menang Melawan Luton Town

Ia pernah memperoleh Ma’arif Award 2007 untuk kategori Pekerja Perdamaian dan Tanenbaum Award, New York City, USA, pada 2012 untuk kategori Peacemakers in Action

- Buku Puisi Esai Denny JA:  25 kisah kekerasan Primordial di 5 wilayah Setelah Reformasi: JERITAN SETELAH KEBEBASAN (2022), dapat dibaca melalui link ini: ????

https://www.puisiesai.com/wp-content/uploads/2022/11/Jeritan-Setelah-Kebebasan_compressed.pdf

Berita Terkait