Bandung Gelar Peace Cafe, Wujud Nyata Gagasan Denny JA soal Agama sebagai Warisan Kultural Milik Bersama

ORBITINDONESIA.COM — Sebuah forum lintas iman digelar di Museum Sejarah Kebudayaan Indonesia Tionghoa, Kota Bandung, ketika Program Studi S1 Studi Agama-Agama (SAA) UIN Sunan Gunung Djati bekerja sama dengan Esoterika Fellowship Program, Initiatives of Change (IofC) Indonesia, dan Rumah Moderasi Beragama (RMB) menyelenggarakan “Peace Cafe: Mendengar Lebih Dekat Gerakan Perdamaian di Kota Bandung.”

Kegiatan pada Rabu, 26 November 2025 itu bukan sekadar dialog budaya atau akademis melainkan wujud nyata penerapan pemikiran Denny JA yang menegaskan bahwa agama sebagai warisan kultural milik bersama.

Nita Ch. Lusaid Direktur Denny JA Foundation menyatakan bahwa gagasan Denny JA tentang Agama sebagai Kultural Milik Bersama menjadi landasan strategis kerja sama lintas kampus. Menurutnya, jika agama dipahami bukan sebagai klaim eksklusif kelompok tertentu tetapi sebagai bagian dari kekayaan budaya umat manusia, maka upaya dialog dan perdamaian menjadi lebih kuat dan relevan.

Dalam Peace Café tersebut, enam komunitas perdamaian ikut serta: Jakatarub, SEKODI, IofC Indonesia, PeaceGeneration, Women Peace Creator, dan YDSP. Mereka berbicara soal kebebasan beragama, nalar kritis, resolusi konflik, empati lintas kelompok, dan aksi sosial berbasis spiritualitas.

Diskusi ini mencerminkan semangat Denny JA, yang selama ini mengajak agar agama tidak hanya diam dalam doktrin, tetapi hidup sebagai tradisi sosial yang dapat dinikmati dan dipahami oleh siapa pun.

Kegiatan dimulai dengan mahasiswa SAA dan dosen mengunjungi Museum Tionghoa Bandung. Mereka diberi kesempatan untuk menelusuri sejarah akulturasi Tionghoa dan Nusantara  misalnya peran tokoh Muslim di komunitas Tionghoa, dan bagaimana tradisi Tionghoa menyatu dengan nilai-nilai lokal dalam sejarah Indonesia.

Dr. Ilim Abdul Halim (Ketua Prodi SAA) menyebut sesi museum sebagai pembelajaran sekaligus refleksi penting: “Keberagamaan bukan hanya soal dogma di atas kertas, tetapi tentang bagaimana agama berinteraksi dengan budaya dan sejarah masyarakat kita.”

Dosen SAA, Dr. Neng Hannah, menambahkan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari mata kuliah Filsafat Agama semester 3. Dengan mendekatkan mahasiswa pada realitas budaya dan sejarah, diharapkan pemahaman agama mereka lebih reflektif dan tidak dogmatis.

Direktur RMB UIN Bandung, Dr. H. Usep Dedi Rostandi, menegaskan bahwa peran Rumah Moderasi Beragama menjadi sangat strategis dalam konteks ini.

Menurutnya, RMB adalah laboratorium publik untuk moderasi: tempat masyarakat dapat memahami simbol, ritus, kitab suci, dan warisan agama dengan penuh penghormatan dan keterbukaan. Ia menggarisbawahi bahwa toleransi dan kerukunan harus ditanamkan melalui pengalaman nyata, bukan sekadar wacana.

Gagasan Denny JA mengenai agama sebagai warisan kultural bersama bukan sekadar teori akademis. Dalam berbagai tulisannya dan dibukukan dalam “Era Ketika Agama Menjadi Warisan Kultural Milik Bersama” oleh Ahmad Gaus AF, Denny JA menyajikan sembilan pemikiran penting yang menjadi kerangka pemahaman baru tentang peran agama di era modern.

Salah satu poin penting adalah bahwa agama tidak lagi dipahami sebagai kebenaran mutlak yang menimbulkan perselisihan, melainkan sebagai kekayaan budaya yang harus dihormati karena menyimpan pesan kemanusiaan universal.

Lebih lanjut, Denny JA juga menyoroti perubahan peran otoritas agama di era digital dan kecerdasan buatan (AI). Menurutnya, akses informasi yang sangat luas memungkinkan individu menyelami berbagai tafsir agama tanpa bergantung sepenuhnya pada otoritas tradisional.  Dalam kerangka ini, agama semakin berkembang sebagai tradisi sosial dan kultural yang dapat diakses dan dipahami bersama.

Peace Cafe Bandung kali ini menjadi salah satu ekspresi riil dari pemikiran tersebut. Dengan menyatukan mahasiswa, komunitas lintas agama, dan lembaga publik di ruang budaya, acara ini membuktikan bahwa gagasan Denny JA bukan sekedar wacana, tetapi fondasi bagi kerja sosial dan kultural yang konkret. Melalui pertemuan ini, pesan utamanya jelas: agama bukanlah milik golongan, melainkan warisan bersama yang harus dirawat demi harmoni dan perdamaian.***