DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Syaefudin Simon: Tenggelamnya Rumah Allah oleh Banjir Kapitalisme

image
Syaefudin Simon di Tanah Suci

Catatan Syaefudin Simon

ORBITINDONESIA.COM - Baitullah tidak seperti yang aku bayangkan. Ia tenggelam oleh bangunan gedung dan hotel di sekitarnya.

Kabah tidak seperti menara Eiffel di Paris, menjadi penanda kota dengan lapangan luas di sekelilingnya yang anggun. Bahkan dibandingkan tugu Monas Jakarta sekali pun, Kabah kalah anggun lanskap arsitekturalnya.

Baca Juga: New Year Gaza 24 B

Kabah seperti terperosok dalam gedung-gedung pencakar langit yang ada di sekitarnya. Ia hanya sebuah kotak hitam kecil di tengah gedung-gedung megah pencakar langit yang angkuh.

Baca Juga: Bioskop Trans TV: Beirut, Ketika Diplomat Amerika Terjebak dalam Konflik dan Politik di Lebanon

Barangkali, inilah lanskap arsitektural yang amat buruk di sebuah situs sejarah terpenting di muka bumi. Keberadaan situs Baitullah dikepung bangunan-bangunan yang mencerminkan ambisi duniawi manusia.

Baca Juga: Survei LSI Denny JA: Elektabilitas PSI yang Dipimpin Kaesang Hanya 1,5 Persen, Gerindra Salip PDI Perjuangan

Nyaris tanpa menggambarkan kebesaran Allah Yang Maha Agung. Bulan di atas Kabah seperti yang aku lihat semalam, tampak muram menyaksikan kebesaran Baitullah yang terkikis ambisi superficial di era -- pinjam sejarawan Yuval Noah Harari -- berakhirnya generasi biologis homo sapiens.

Kabah hanya menyempil di tengah balok-balok pencakar langit yang megah. Gedung-gedung pencakar langit seperti sosok Adam Smith, yang berkacak pinggang sambil tersenyum nyinyir, menyaksikan sekawanan manusia yang mengelilingi kubus hitam tanpa makna.

Baca Juga: SEA Games 2023: Indonesia Melawan Timor Leste, Gol Akrobatik Fajar Fathur Rahman Bawa Timnas Tatap Seminfinal

Baca Juga: Ditemani Erick Thohir, Prabowo Subianto Makan Siang Bersama Pelaku Usaha Muda

Di kota Makkah yang megah, Kabah seperti balok hitam kecil yang menumpang di halaman megah hotel-hotel mewah tempat bercengkerama nabi-nabi kapitalisme. Ia seperti tenggelam dilanda banjir kapitalisme dan hedonisme manusia abad 21.

Padahal hingga kini, Kota Makkah dan monumen Kabahnya yang hidup 24 jam itu, dikerumuni jutaan manusia tiap hari.

Makkah dan Kabah secara historis, bahkan hingga detik ini, adalah karya monumental yang telah puluhan ribu tahun menjadi pusat gaya sentripetal yang menarik umat manusia dari semua titik bumi.

Baca Juga: Yasonna H Laoly Dampingi Megawati Soekarnoputri Selama Jadi Juri Jayed Award 2023 di Roma

Sejak zaman Krisna, Adam, Ibrahim, Ismail, dan Muhammad -- Kabah adalah tonggak sejarah yang menggambarkan eksistensi Tuhan Yang Maha Suci, yang bisa dijamah dan dicium manusia yang profan.

Baca Juga: Fakta Unik Phyla Vell, Superhero baru di Film Guardians of the Galaxy Vol 3

Bayanganku, landskap Kabah menggambarkan kebesaran Tuhan Semesta Alam. Jauh lebih indah dan anggun dari lanskap arsitektur Grand Palace di Bangkok, Lapangan Tiananmen di China, Monumen George Washington, Patung Liberty New York, dan Alun-alun Utara Yogya.

Baca Juga: Jadi Juri Zayed Award 2024, Megawati Diwawancarai Radio Vatikan

Dari kejauhan monumen-monumen sejarah itu tampak dengan segala kebesaran daya magisnya menarik manusia ke dalam pusat gravitasinya.

Hingga kini, itulah makna keberadaan Kabah di dunia. Ia magnet super besar yang punya gaya sentripetal amat kuat, untuk menarik umat manusia dari semua penjuru bumi mendekat kepadanya.

Tapi sayang, kebesaran gaya sentripetal Kabah tidak ditempatkan pada ruang semestinya. Umat Islam yang datang dari seluruh dunia, harus masuk ke lorong-lorong sempit tanpa keindahan lanskap arsitektur untuk melihat dan menatap Baitullah.

Baca Juga: Dugaan Operasi Tangkap Tangan Gubernur Abdul Gani Kasuba, KPK Gelandang 3 Pejabat Maluku Utara ke Jakarta

Baca Juga: Anton DH Nugrahanto: Membaca Serangan PSI ke PDIP

Sungguh ini sebuah tragedi arsitektural yang merendahkan Baitullah. Seakan-akan rumah Allah dicibir oleh rumah kaum kapitalis yang "merasa" lebih kaya dari Tuhan.

Andai saja aku tidak membaca puisi Rumi bahwa Rumah Tuhan ada di setiap hati manusia, kekecewaanku terhadap landscaping Kabah mungkin sulit terobati. Sungguh, secara faktual, aku kecewa melihat lenyapnya keagungan dan daya magis Kabah yang telah melahirkan peradaban paling gilang gemilang di muka bumi.

Baca Juga: BMKG: Hujan Lebat Berpotensi Turun di Beberapa Kota

Dari umat Islam yang memuliakan Kabah itulah, sejarah mencatat telah lahir Ibnu Sina, Al-Jabr, Al-Kwarizmi, Al-Battani, Ibnu Khaldun, dan sederet perintis ilmu pengetahuan yang kini melahirkan dunia digital dan artificial intelligence (AI).

Aku teringat kata-kata Umar bin Khattab, sahabat Rasul. Jika aku tak menyaksikan Rasulullah mencium Hajar Aswad, aku pun tak akan pernah mencium batu hitam itu.

Baca Juga: Newcastle vs Arsenal, Berikut Catatan Statistik dan Rekor Head to Head Kedua Tim di Liga Inggris

Baca Juga: Peringati Hari Bela Negara, Ibnu Chuldun: Bersatu dan Berkontribusi untuk Indonesia Maju

Tapi karena Rasulullah menciumnya, aku pun mengikutinya. Itulah posisiku sekarang. Kabah masih tetap Rumah Allah yang suci. Hanya saja, manusia yang terjebak hedonisme kapitalisme, telah "membunuh" lanskap keagungan arsitektural rumah Allah itu.

Catatan Pinggir Tempo Goenawan Mohamad (GM) dengan narasi sarkasmenya menggambarkan posisi lanskap arsitektural Kabah yang kita lihat saat ini. Tulis GM:

"Betapa berubahnya Mekah. Duduk di salah satu sudut Masjidil Haram ketika matahari meredakan panasnya, kita bisa merasakan bayang-bayang sebuah bangunan yang menjangkau langit dari arah selatan.

Baca Juga: Permohonan Layanan Melonjak, Sandi Andaryadi: Imigrasi DKI Jakarta Harus Bekerja Prima

Memang: di seberang gerbang Baginda Abdul Aziz, berdiri sebuah super-gedung (baru diresmikan Agustus tahun ini), yang disebut Abraj al-Bait. Raksasa ini lebih dari 600 meter tingginya: menara waktu yang paling jangkung sedunia.

Baca Juga: JOKE - Presiden yang Dermawan Dikerjai Penjaga WC Umum yang Orang Madura

Empat muka jam di puncaknya masing-masing berbentuk mirip Big Ben di London, meskipun mengalahkannya dalam ukuran: diameternya masing-masing 46 meter, dengan jarum panjang yang melintang 22 meter.

Baca Juga: Denny JA: Puisi Esai Waktunya Masuk Kampus dan Sekolah

Dan berbeda dengan Big Ben, di jidatnya yang diterangi dua juta lampu LED tertulis, "Allahu Akbar".

Di Abraj al-Bait ada 20 lantai pusat belanja dan sebuah hotel dengan 800 kamar. Juga tempat tinggal. Garasinya bisa menampung 1.000 mobil.

Tapi para tamu dan penghuni juga bisa datang dengan helikopter (ada lapangan untuk menampung dua pesawat), karena ini memang tempat bagi mereka yang mampu menyewa, atau memiliki, kendaraan terbang itu. Ongkos semalam di salah satu kamar di Makkah Clock Royal Tower bisa mencapai 7.000.000 rupiah.

Baca Juga: Kepala Kanwil Kemenkumham DKI Jakarta Ibnu Chuldun Resmikan Laboratorium Peradilan Pidana Universitas Yarsi

Baca Juga: Bioskop Trans TV American Assassin, Balas Dendam Mitch Ketika Lamar Katrina Berujung Terbunuh karena Teroris

Dari ruang yang disejukkan AC itu orang-orang dengan duit berlimpah bisa memandang ke bawahnya, jauh ke bawah mengamati ribuan muslim yang bertawaf mengelilingi Kabah, bagai semut yang berputar mengitari sekerat cokelat.

Saya tak bisa membayangkan, bagaimana dari posisi itu akan ada orang yang bisa menulis seperti Hamka di tahun 1938. Apa kini artinya "di bawah lindungan Kabah?"

Baca Juga: Pembunuh Petugas Imigrasi Tri Fattah Firdaus Jadi Tersangka, Sandi Andaryadi: Kami Apresiasi Polda Metro Jaya

Justru kubus sederhana tapi penuh aura itu yang sekarang seakan-akan dilindungi gedung-gedung jangkung, terutama Abraj al-Bait yang begitu megah dan gemerlap dengan 21.000 lampunya yang memancar sampai sejauh 30 kilometer dan membuat rembulan di langit pun mungkin tersisih.

Betapa berubahnya Makkah. Atau jangan-jangan malah berakhir. "It is the end of Mecca," kata Irfan al-Alawi, Direktur Pelaksana Islamic Heritage Research Foundation di London, kepada The Guardian. Nada suaranya murung seperti juga suara Sami Angawi.

Baca Juga: Prediksi Pertandingan Newcastle vs Arsenal Dalam Laga Super Big Match Liga Inggris

Baca Juga: Warga Negara Asing Asal Korea Selatan Jadi Tersangka Pembunuhan Petugas Imigrasi Tri Fattah Firdaus

Hampir 40 tahun yang lalu arsitek ini mendirikan Pusat Penelitian Ibadah Haji di Jeddah. Dengan masygul ia menyaksikan transformasi Mekah berlangsung di bawah kuasa para pengusaha properti dan pengembang.

"Mereka ubah tempat ziarah suci ini jadi mesin, sebuah kota tanpa identitas, tanpa peninggalan sejarah, tanpa kebudayaan, dan tanpa lingkungan alam. Bahkan mereka renggut gunung dan bukit."

Angawi, 64 tahun, mungkin terlalu romantis. Ia mungkin tak mau tahu hukum permintaan dan penawaran: jumlah orang yang pergi haji makin lama makin naik; kalkulasi masa depan mendesak. Mekah harus siap.

Baca Juga: Di Gedung Long See Tong Kota Padang, Mahfud MD Janji Perjuangkan Hak Adat

Tapi Angawi justru melihat di situlah perkaranya. Ia menyaksikan "lapisan-lapisan sejarah" Mekah dibuldoser dan dijadikan lapangan parkir.

Baca Juga: JOKE POLITIK - Gubernur Lampung Menolak Dipanggil Jokowi

Akhirnya ia, yang lahir di Mekah, menetap di Jeddah, di rumah pribadinya yang didesain dengan gaya tradisional Hijaz. Ketika Abraj al-Bait dibangun seperti Big Ben yang digembrotkan ("Meniru seperti monyet," kata Angawi), ia merasa kalah total. Ia lebih suka tinggal di Kairo.

Baca Juga: Muhaimin Iskandar Janjikan Tunjangan Ibu Hamil, Guru Mengaji, dan Bebaskan Pajak Bumi Bangunan

Tapi bisakah transformasi Makkah dicegah? Kapitalisme membuat sebuah kota seperti seonggok besi yang meleleh, untuk kemudian dituangkan dalam cetakan yang itu-itu juga.

Dengan catatan: dalam hal Makkah, bukan hanya karena "komersialisasi Baitullah" kota suci itu hilang sifat uniknya. Angawi menyebut satu faktor tambahan yang khas Arab Saudi: paham Wahabi.

Wahabisme, kata Angawi, adalah kekuatan di belakang dihancurkannya sisa-sisa masa lalu. Dalam catatannya, selama 50 tahun terakhir, sekitar 300 bangunan sejarah telah diruntuhkan.

Baca Juga: Syafrin Liputo: DKI Jakarta Bebas Kendaraan Bermotor Malam Natal dan Tahun Baru di Jalan Sudirman-MH Thamrin

Baca Juga: Sambut Ganjar Pranowo, Ribuan Masyarakat Jember Penuhi Alun alun, Panitia: Tak Ada Settingan

Paham yang berkuasa di Arab Saudi ini hendak mencegah orang jadi "syirik" bila berziarah ke petilasan Nabi, bila menganggap suci segala bekas yang ditinggalkan Rasulullah dan sebab itu harus disembah.

Sejarah Arab Saudi mencatat dihapusnya peninggalan sejarah itu secara konsisten. April 1925, di Madinah, kubah di makam Al-Baqi' diruntuhkan. Beberapa bagian kasidah karya Al-Busiri (12111294) yang diukir di makam Nabi sebagai himne pujaan ditutupi cat oleh penguasa agar tak bisa dibaca.

Baca Juga: Taman Mini Indonesia Indah Gelar Konser Musik untuk Natal dan Tahun Baru

Di Mekah, makam Khadijah, istri Nabi, dihancurkan. Kemudian tempat di mana rumahnya dulu berdiri dijadikan kakus umum.

Contoh lain bisa berderet, juga protes terhadap tindakan penguasa Wahabi itu. Di awal 1926, di Indonesia berdiri "Komite Hijaz" di kediaman KH Abdul Wahab Chasbullah di Surabaya, ekspresi keprihatinan para ulama.

Baca Juga: Fakta Unik Rocket Racoon, Kapten Baru yang Gantikan Peter Quill di Film Guardians of the Galaxy Vol 3

Baca Juga: Dinas Kesehatan: Pengidap COVID 19 di Jakarta Mencapai 200 Kasus per Hari

Reaksi dari seluruh dunia Islam itu berhasil menghentikan destruksi itu. Tapi kini, di abad ke-21, Wahabisme dan kapitalisme bertaut, dan Makkah berubah.

Mengherankan sebenarnya. Di sebuah tulisan dari tahun 1940 Bung Karno mengutip buku Julius Abdulkerim Germanus, Allah Akbar, Im Banne des Islams.

Dari sana Bung Karno menggambarkan kaum Wahabi sebagai orang-orang yang dengan keras dan angker mencurigai "kemodernan"; mereka bahkan membongkar antena radio dan menolak lampu listrik.

Baca Juga: Relawan Santri Muda Garut Dukung Ganjar Pranowo-Mahfud MD

Tapi kini, seperti tampak di kemegahan Abraj al-Bait, bukan hanya lampu listrik yang diterima, tapi juga transformasi Mekah jadi semacam London & Las Vegas. Apa yang terjadi?

Baca Juga: Fakta Unik Phyla Vell, Superhero baru di Film Guardians of the Galaxy Vol 3

Mungkin sikap dasar Wahabisme tak berubah. Menghapuskan petilasan (menidakkan masa lalu), sebagaimana menampik "kemodernan" (menidakkan masa depan), adalah sikap yang anti-Waktu.

Baca Juga: Ganjar Pranowo Ikut Kirab Budaya Nitilaku UGM  Yogyakarta

Jam besar di Abraj al-Bait itu akhirnya hanya menjadikan Waktu sebagai jarum besi. Benda mati. Dan bagi yang menganggap Waktu benda mati, yang ada hanya rumus-rumus ibadah tanpa proses sejarah.

Tapi apa arti perjalanan ziarah, tanpa menapak tilas sejarah dan menengok yang pedih dan yang dahsyat di masa silam? Mungkin piknik instan ke kemewahan."

Itulah yang terbersit di anganku. Tentang Makkah dan Kabah yang ditenggelamkan ambisi hedonisme-kapitalisme manusia.

Baca Juga: Buruh Rokok di Kudus Deklrasi Dukung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka

Baca Juga: Cak Islah Bahrowi: Agama Tidak Primitif

Untungnya, kekecewaanku melihat Ka'bah Suci yang muram, terobati saat berada di Masjid Nabawi. Aku masih menyaksikan kebesaran Rasulullah dan Keagungan Allah di sekujur lanskap arsitektur Masjid Nabawi: mengagumkan dan menggetarkan hati setiap orang beriman.

Aku yakin sejarah masa depan, akan menyadarkan otoritas Kerajaan Arab Saudi untuk kembali menempatkan Kabah pada posisi kemuliaan dan keagungannya seperti ketika Rasulullah masih hidup. Kita ingat bahwa Tuhan Maha Kaya, Maha Kreatif, dan Maha Perekayasa. ***

Berita Terkait