DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Dengan Artificial Intelegence, Menumpahkan Keheningan ke Kanvas Lukisan

image
Denny JA Menumpahkan Keheningannya ke Kanvas Lukisan dengan Bantuan Artifiicial Intelegence.

 

Oleh Denny JA

Baca Juga: Liga Inggris: Sheffield United Jadi Tim Pertama yang Terdegradasi

ORBITINDONESIA - Silence is the language of God. Other else is poor translation. (Jalaluddin Rumi)

Renungan guru sufi Rumi ini yang teringat. Keheningan adalah bahasa menuju Tuhan. Tanpa keheningan, tidak khusyuk, tidak total, tidak intens untuk merasakan getaran-Nya.

Satu hari, summer di tahun 2011, keheningan itu saya rasakan di pusat seni dunia, Museum Louvre, Prancis.

Baca Juga: Liga 1: Persib Bandung Pastikan Masuk ke Championship Series

Baca Juga: Peneliti LSI Denny JA: Mesin Politik Partai Golkar yang Bergerak Massif akan Menangkan Pemilu di Jawa Barat

Bersentuhan dengan begitu banyak karya seni dunia di museum itu, terutama lukisan, memberi efek keheningan mendalam.

Sudah sejak lama saya menyukai seni. Tapi di era summer, di museum Louvre, tahun 2011, saya merasakan pengalaman berbeda. Sinerji batin saya dengan suasana kala itu, bersentuhan dengan lukisan dunia memberi saya pengalaman religius. Spiritual. Ekstase. Merasuk ke dalam.

Baca Juga: Megawati Sampaikan Surat Amicus Curiae atau Sahabat Pengadilan ke Mahkamah Konstitusi: Semoga MK Bukan Ketok Palu Godam

Saya duduk berjam-jam di hadapan karya pelopor gerakan impresionis Prancis, Claude Monet (1840-1926). Lukisan itu serial Water Lilies, Bunga Teratai.

Di masa senjanya, Monet banyak melukis tema itu, Water Lilies. Para ahli memperkirakan, Monet membuat 250 lukisan untuk tema Water Lilies saja. Sebagian kecil dari karya asli Water Lilies itu dipajang di museum Louvre.

Baca Juga: Denny JA: Dunia Islam Perlu Tafsir yang Pro Keadilan Bagi Perempuan

Baca Juga: Presiden Jokowi Menikmati Libur Idulfitri Bersama Cucunya di Objek Wisata Satwa Deli Serdang

Bunga teratai dalam lukisan Monet itu begitu heningnya. Ia terasa ringan, tenang, diam di atas air. Seolah ia mengajak siapapun yang memandangnya untuk merasakan keheningan yang sama, yang asli.

Dalam hati saya berkata, alangkah senangnya jika saya bisa menumpahkan rasa hening di dalam batin saya ke dalam lukisan. Hanya dalam hitungan menit, pihak lain yang sensitif akan cepat ikut tertular merasakan keheningan yang sama melalui lukisan itu.

Tapi dibutuhkan teknik melukis yang prima. Dugaan saya, setidaknya saya perlu berlatih melukis secara intens setidaknya 10 tahun untuk sampai pada kemampuan berkarya lukis yang memadai.

Baca Juga: Todung Mulya Lubis: TPN Ganjar-Mahfud Minta Mahkamah Konstitusi Hadirkan Kapolri Dalam Sidang PHPU Pilpres

Gagasan untuk mengekspresikan keheningan melalui lukisan pun saya lupakan. Saya terserap oleh banyak perhatian dan kegiatan lain.

Baca Juga: Denny JA Luncurkan Kanal Youtube SATUPENA TV yang Memuat Kisah Kalangan Penulis Tanah Air

Momen itu datang lagi. Sebelas tahun kemudian, di tahun 2022, dunia sudah berubah. Artificial Inteligence masuk lebih intens dalam kehidupan sehari-hari.

Baca Juga: Sidang Komite Disiplin PSSI: Persita Tangerang, Persebaya Surabaya, PSS Sleman Didenda Seratusan Juta

Saya pun berkenalan dengan begitu banyak aplikasi lukisan. Beberapa di antaranya aplikasi itu menggunakan artificial inteligence. Saya hanya memberikan perintah dalam bentuk teks, selengkap yang saya bisa, sesuai imajinasi yang dipilih. Aplikasi artificial inteligence ini akan menerjemahkannya dalam beberapa lukisan, hanya dalam hitungan menit.

Jika belum merasa puas, pilihan itu tetap bisa saya perintahkan agar menciptakan variasi lain, hingga rasa lukisan yang diharap akhirnya datang.

Tapi ternyata, sehebat- hebatnya satu aplikasi lukisan, walau ia berisi artificial inteligence sekalipun, tetap tak bisa memuaskan apa yang saya ingini.

Baca Juga: New Year Gaza 24 B

Baca Juga: LSI Denny JA: Publik Optimistis Situasi Ekonomi Nasional tahun Depan Lebih Baik

Dalam beberapa minggu di bulan Oktober- November 2022, saya intens menggabungkan 4-5 aplikasi lukisan, agar saling melengkapi. Trial and error, kutak katik di sini dan sana, terus dilakukan.

Untuk pengalaman saya pribadi, semata hasil dari aplikasi lukisan itu, bahkan gabungan beberapa aplikasi, tetap tak bisa memuaskan saya. Harus ada goresan dari tangan saya sendiri, dengan tarikan dan getaran batin saya, dengan olahan warna ramuan saya sendiri, hanya dengan sentuhan personal seperti itu, imajinasi saya soal lukisan terpuaskan.

Baca Juga: DKI Jakarta Temukan Ratusan Penerima Kartu Jakarta Mahasiswa Unggul tidak Sesuai Data

Melaui penggalian yang intens, hasil akhir yang memuaskan saya adalah lukisan hibrida. Ini gabungan lukisan, yang sebagian besar dikerjakan oleh aplikasi lukisan bebasis artificial inteligence, ditambah aplikasi lukisan lain. Tapi finishing touch,  roh lukisan itu  memerlukan sentuhan personal dengan goresan tangan saya sendiri.

Wow, saya pun terpana melihat hasilnya. Beberapa kawan yang melihat lukisan hibrida saya itu juga terkesan.

Baca Juga: LSI Denny JA: Efek Dukungan Jokowi pada Elektabilitas Calon Presiden dan Wakil Presiden Tidaklah Besar

Baca Juga: Hasil Rapat Rekapitulasi, KPU RI Sahkan Prabowo-Gibran Unggul di Kalimantan Barat

Di momen itu, lahirlah keinginan saya untuk meneruskan apa yang pertama kali timbul di musem Louve, Perancis. Saya ingin mengekspresikan kerinduan akan rasa hening yang mendalam, dan keheningan yang saya rasakan sendiri di batin, untuk ditumpahkan ke dalam serial lukisan.

Secara teknis, dengan bantuan aplikasi artificial inteligence, mimpi itu dimungkinkan walau saya hanya menguasai teknik melukis yang elementer saja. Yang penting memang gagasannya yang harus kaya. Gagasan dan vision mengenai apa yang akan dilukiskan.

Namun sebelum membuat serial lukisan itu, saya harus menjawab dan menuntaskan tiga perkara. Pertama, bisakah saya mengklaim lukisan yang dibantu berbagai aplikasi lukisan ini sebagai karya pribadi?

Baca Juga: KBRI Tokyo Kawal Penanganan 20 Warga Indonesia Anak Buah Kapal Jepang Fukuei-Maru yang Kandas di Izu

Kedua, dimana beda dan differensi lukisan saya dibanding orang lain yang menggunakan aplikasi lukisan yang sama. Ketiga, karakter apa yang ingin saya tampilkan dalam lukisan itu.

Baca Juga: TWO LEADERS AND ONE SUN, Dua Lukisan Esai Karya Denny JA Tentang Global Governance di G20

Esai ini menjawab tiga hal di atas dengan positif.

Baca Juga: Liga 1: Petik Hasil Seri Melawan Bhayangkara FC, Arema FC Merangkak Naik Satu Peringkat

-000-

Pertama, kita bisa mengklaim karya pribadi walau eksekusi dari gagasan kita itu dibantu oleh banyak orang lain, atau oleh artificial inteligence. Karya pribadi itu tidak dilekatkan kepada tim eksekutor, tapi pada penggagasnya.

Saya mulai dengan kisah patung liberty di Amerika Serikat, yang tetap dianggap sebagai karya August Bartholdi.

Baca Juga: Lewat Sebuah Diskusi Berdua: Inilah Alasan Denny JA Memilih Berdiri di Samping Presiden Jokowi

Tanggal 28 Oktober tahun 1886, sekitar 136 tahun lalu, Fredrerich Aguste Bartholdi terpana. Statue of Liberty itu selesai sudah.

Baca Juga: Denny JA: Banyak Problem Dunia Kini Hanya Bisa Diatasi Dengan Global Governance

Patung itu dibuat sebagai hadiah dari rakyat Prancis untuk memperingati aliansi Prancis dan Amerika Serikat pada masa Revolusi Amerika.

Baca Juga: Diskusi Satupena, Satrio Arismunandar: Pers Bukan Sekadar Pilar Demokrasi, Namun Juga Ikut Bermain Politik

Total tinggi patung itu  92,99 meter. Lebar patung 10,7 meter. Tinggi kaki patung saja sepanjang 7,65 meter. Total berat patung 225 ton. Patung terbuat dari bahan tembaga.

Patung itu dikerjakan dalam waktu 9 tahun. Yang bekerja untuk patung itu lebih dari 1000 orang. (1)

Aguste Bertholdi tetap dikenang sebagai sang pematung. Gagasan dan bentuk patung itu darinya, walau yang mengerjakan patung itu tim yang besar sekali.

Baca Juga: Liga 1: Kalahkan Tuan Rumah Persikabo 1973, Borneo FC Kian Kukuh di Puncak Klasemen

Baca Juga: Denny JA: Ada Tiga Bahaya dari Politik Identitas yang Diskriminatif

Bukan Bertholdi yang menyusun kepingan tembaga. Bukan ia pula yang mengecat patung dari kaki hingga kepala. Apalagi bukan Bartholdi yang membuat kerangka besi dan kayu untuk mendirikan patung itu.

Seribu orang lebih yang bekerja di lapangan, bahu membahu mewujudkan gagasan Auguste Bertholdi.

Baca Juga: Real Madrid dan Mbappe Sedang Berunding Kontrak

Tapi Bertholdi tetap dikenang sebagai sang pematung kareja design patung berasal darinya.

Pematung itu ada pada sang designer.

Baca Juga: Denny JA: Ada Dua Arus Besar Cara Beragama, Yaitu Pemurnian Agama dan Sinkretisme

Baca Juga: Liga Inggris: Manchester United Dekati Empat Besar Usai Menang Melawan Luton Town

Di era kini, tim besar yang siap membantu kita  berkarya, melukis, disediakan oleh teknologi. Artificial inteligence mengerjakan gagasan yang kita perintahkan.

Kita tetap sebagai designernya. Walau yang bekerja di lapangan adalah tim artificial inteligence, itu tetap dapat diklaim sebagai karya pribadi.

-000-

Baca Juga: Pemilu 2024, Civitas Academica UKI Jakarta Imbau ASN, TNI, dan Polri Junjung Tinggi Sumpah Jabatan Etika Moral

Kedua, karya kita tetap bisa dibedakan dengan karya orang lain, walau menggunakan aplikasi yang sama. Bukankah selama ini juga para pelukis menghasilkan karya berbeda walau menggunakan kuas, cat air dan kanvas yang sama.

Walau menggunakan alat yang sama, aplikasi yang sama, tetap ada personalisasi dari sang kreator. Itu yang penting. Itu yang membuat beda.

Baca Juga: Denny JA: Krisis Ekonomi Sering Menjadi Ibu Kandung Krisis Politik

Baca Juga: Addin Jauharudin Terpilih Sebagai Ketua Umum PP GP Ansor dalam Kongres XVI yang Berjalan Damai

Di dunia lukisan, saya memilih aliran ekspresionism gaya Van Gogh. Aplikasi lukisan yang ada, saya arahkan ke genre itu.  Namun berbeda pula dengan Van Gogh, saya menambahkan hal lain lagi.

Saya ingin sedikit berbagi pengalaman perkenalan batin saya dengan Van Gogh yang sudah wafat lebih dari seratus tiga  puluh tahun lalu (1890).

“Saya bermimpi melukis, kemudian saya melukis mimpi saya.”  Ini kalimat yang dikatakan oleh salah satu pelukis raksasa Van Gog.

Baca Juga: Haruskah Lembaga Survei Memberi Tahu Siapa yang Mendanai Surveinya? Inilah Pendapat Denny JA

Semasa hidupnya, 1882-1885, Van Gogh sudah mengekspresikan mimpinya dalam lebih dari 900 lukisan. Namun ia hanya berhasil menjual satu lukisan saja semasa hidupnya, berjudul Red Vanyard at Arles. (2)

Baca Juga: Denny JA: Negara yang Kuat dan Bersih Butuh Polisi yang Juga Kuat dan Bersih

Lukisan itupun dibeli oleh keluarga dari sahabatnya sendiri: Anna Boch. 

Baca Juga: MotoGP: Ducati Berusaha Perpanjang Kontrak Francesco Bagnaia

Van Gogh hidup dalam kondisi yang melarat. Gaya melukis Van Gogh tidak populer di zamannya. Tapi Van Gogh bersikeras tetap melanjutkan gaya lukisannya sendiri, walau tak ada yang membelinya.

Van Gogh hanya ingin mengekspresikan dirinya. Ia hanya tergerak untuk melukis mimpinya.

Kini, 130 tahun setelah kematiannya, lukisan Van Gogh termasuk yang paling mahal yang pernah terjual.

Baca Juga: Liga Inggris: Sikat Habis Chelsea 4-1, Liverpool Semakin Mantap di Puncak Klasemen Sementara

Baca Juga: Denny JA: Negara yang Kuat dan Bersih Butuh Polisi yang Juga Kuat dan Bersih

Di tahun 1990, lukisannya berjudul The Portrait of Dr. Gauche, terjual dengan harga USD 85 juta. Itu sama dengan 1, 2 Trilyun rupiah.

Sejak lama saya menggandrungi Van Gogh. Sejak bersekolah di Amerika Serikat, saya mencari poster lukisannya di berbagai toko seni.

Baca Juga: Ini Tema Utama Debat Capres Kelima atau Terakhir yang akan Dibahas Anies, Prabowo, dan Ganjar

Saya menyenangi gaya lukisan Van Gogh, yang sering disebut dengan genre ekspresionisme. Dalam gaya ini, yang dilukis tak hanya realitas fisik sebuah obyek, tapi juga emosinya, gairahnya, gejolak batinnya.

Emosi itu terasa dalam lukisan melalui tarikan kuas, permainan warna.

Baca Juga: LSI Denny JA: Kepercayaan Publik kepada TNI Lebih Tinggi Dibanding ke Kepolisian

Baca Juga: Jadwal Debat Capres dan Cawapres Terakhir, Tema, Tempat, dan Jam Tayang

Di kemudian hari Van Gogh dianggap sebagai bapak ekspresionisme.  Lukisannya menggunakan warna untuk mengekspresikan perasaan, emosi dan suasana hati.

Lukisan Van Gogh juga lebih menggunakan simbolisme, lebih abstrak dibandingkan lukisan realisme atau fotografis yang populer saat itu.

Ketika berniat membuat serial lukisan Power of Silence, gaya lukisan Van Gogh yang saya pilih. Namun tentu saja, saya menambahkan yang lain lagi agar perbedaan saya dengan gaya lukisan Van Gogh tetap hadir.

Baca Juga: Program BBM Satu Harga Digenjot Percepatannya di 2024 oleh BPH Migas

-000-

Ketiga, karakter apa, inovasi apa yang ingin saya sampaikan lewat serial karya lukisan ini? Kepuasan saya selaku kreator akan lebih puncak jika berhasil meramu karya lukisan yang memiliki karakter sendiri.

Baca Juga: LSI Denny JA: Kasus Ferdy Sambo, Kepercayaan Publik Kepada Polisi, dan Pemilih Pilpres 2024

Baca Juga: Piala Asia 2023: Malam Ini Siaran Langsung Indonesia Vs Australia di RCTI Pukul 18.30 WIB

Inilah pkarakter yang saya renungkan, untuk terus hadir dalam serial lukisan saya.

Maka ada empat karakter utama jenis lukisan yang saya beri nama LUKISAN ESAI.

Pertama, ini jenis lukisan hibrida. Yaitu lukisan yang dibantu oleh aplikasi digital, artificial inteligence. Goresan manual pelukis, kuas, warna dan tarikan garis tangannya, menjadi finishing touch saja dari lukisan itu. Katakanlah ini gabungan lukisan dari aplikasi lukisan dan tangan manual sang kreator.

Baca Juga: Dubes RI untuk Malaysia Hermono Merespons Video yang Tuduh Intervensi Intelijen dalam Pemilu 2024

Kedua, karya ini seperti esai yang disampaikan melaui serial lukisan. Ada pesan utama lukisan yang diekspresikan dalam bentuk potongan puisi atau kutipan yang puitis. Dalam lukisan itu, di atas kanvas, hadir teks puisi.

Baca Juga: Denny JA: Tragedi Kanjuruhan Harus Ubah Tata Kelola untuk Naikkan Peringkat Sepak Bola Indonesia

Namun lukisan saya hadir dalam serial.  Esai mengenai  Cinta Ilahi hadir dengan serial 15 lukisan. Esai tentang Pertanyaan Filosofis hadir dengan  serial 16 lukisan. Esai tentang the Power of Silence hadir dengan serial 12 lukisan.

Baca Juga: Duh, Wartawan Ini Kecopetan saat Meliput Debat Capres Cawapres di JCC

Serial 15 atau 12 atau berapa saja lukisan itu bercerita tentang pesan utama. Pesan utama disamping di sampaikan lewat lukisan itu, juga diperkuat dengan teks kutipan puitisnya.

Ketiga, tak hanya isi kutipan puitis, tapi juga pemilihan huruf dan warna teks puisi itu menyatu dengan lukisan. Secara grafis, teks puisi itu menjadi bagian harmoni dari lukisan.

Keempat, judul lukisan tidak berada di luar kanvas. Judul lukisan tercantum dalam kanvas berupa potongan puisi itu sendiri.

Baca Juga: Pengamat Komunikasi Anang Sujoko: Debat Keempat Pilpres akan Tampilkan Kelebihan Cawapres

Baca Juga: LSI Denny JA: Pasangan Ganjar Pranowo dan Airlangga Hartarto Paling Populer

Apa judul lukisan? Teks yang ada dalam lukisan, itulah judulnya.

-000-

Baca Juga: In Memoriam Abdul Hadi WM: Penulis Besar Selalu Hidup Melalui Karyanya

Maka terhidanglah 73 lukisan spirtual dalam lima serial di buku ini. Yaitu Serial Cinta Ilahi (15 lukisan). Serial renungan Guru Sufi Rumi (15 lukisan). Serial Pertanyaan Filosofis (16 lukisan).

Serial 5 Guru Spiritual: Buddha, KongHuChu, Khrisnamurti, Dalai Lama dan Osho (15 lukisan). Dan Serial Th Power of Silence (12 lukisan).

Di era media sosial, sebelum dihimpun di buku, karya lukisan saya itu sudah beredar luas di aneka grup WhatsApp. Juga lima serial itu sudah muncul di Youtube. Satu serialnya: Cinta Ilahi sudah ditonton lebih dari 50 ribu kali.

Baca Juga: Simak Jadwal Laga Kamis: Piala Asia 2023, Piala Afrika 2024, dan Kiprah Indonesia di India Open

Baca Juga: LSI Denny JA: Pasangan Ganjar Pranowo dan Airlangga Hartarto Paling Populer

Hadirnya 73 lukisan itu di Youtube dalam 5 video membuat lukisan itu seolah terus dipajang dalam pameran yang permanen.

Mengapa lagi 73 lukisan ini perlu dibukukan? Buku ini sebuah deklarasi. Saya meyakini lukisan hibrida, gabungan bantuan artificial inteligence dan tarikan manual kuas dari kreatornya akan memiliki komunitas sendiri.

Baca Juga: Tidak Terima Jadi Tersangka, Siskaeee Mohon Praperadilan, Begini Reaksi Polda Metro Jaya

Katakanlah buku ini dapat menjadi referensi soal pemikiran dan latar hadirnya lukisan hibrida, lukisan esai bagi komunitas itu nanti.

The Power of Silence menjadi tema dasar 73 lukisan. Bagi sang pejalan spiritual, keheningan memang satu-satunya password untuk merasakan sentuhan-Nya.***

Akhir November 2022.

Baca Juga: Imlek 2024, Begini Gambaran Karakter Orang yang Lahir di Tahun Naga, Lengkap dengan Kelebihan dan Kelemahannya

 CATATAN

1. Patung Liberty dikerjakan oleh sekitar 1000 orang dalam waktu 9 tahun. Tapi tetap ini diakui sebagai karya sang penggagas Auguste Bartholdi.

https://dozr.com/blog/building-the-statue-of-liberty

Baca Juga: Makna Tersembunyi Tahun Naga di Hari Raya Imlek 2024, Ternyata Bagus Banget

2. Semasa hidupnya, Van Gogh hanya berhasil menjual 1 lukisan dari 900 karyanya. Tapi ia tak peduli karena meyakini pilihan seninya. Kini ia menjadi raksasa pelukis.

https://www.thoughtco.com/van-gogh-sold-only-one-painting-4050008

Berita Terkait