DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Konflik Sampit 2002, Dayak Melawan Madura dalam Puisi Esai Denny JA: Amarah Terpendam, Kesedihan yang Puitis

image
Irene Hiraswari Gayatri Membuat Komentar Positif tentang Puisi Esai Denny JA.

*Irine Hiraswari Gayatri

ORBINDONESIA - Puisi esai Denny JA (DJA) dalam buku Jeritan Setelah Kebebasan seperti ‘kotak Pandora’. Ketika membuka halaman pertama, untaian kata-kata akan menarik memori kita jauh ke dalam ‘masa lalu’ yang masih terasa dekat.

Baca Juga: Liga Inggris: Sheffield United Jadi Tim Pertama yang Terdegradasi

Rekam Jejak Kekerasan Pasca-Soeharto

Hampir tiga dekade, kenangan tentang sistem politik otoriter Indonesia yang mendapat tantangan berkelanjutan selama tahun 1998 dan mengakibatkan pengunduran diri Presiden Soeharto dari jabatannya masih abadi.

Baca Juga: Perkosaan Massal di Kerusuhan Mei 98 Jakarta dalam Puisi Esai Denny JA, DARI SEJARAH YANG DILUPAKAN

Baca Juga: Liga 1: Persib Bandung Pastikan Masuk ke Championship Series

Periode perubahan tersebut disambut gegap gempita oleh sebagian besar rakyat biasa yang ingin melihat reformasi politik dan ekonomi yang berarti.

Dua bulan setelah pemilihannya kembali untuk masa jabatan 5 tahun ketujuh pada bulan Maret, tekanan rakyat memaksa Soeharto untuk mengundurkan diri demi Wakil Presiden pilihannya, B.J. Habibie.

Di tengah gejolak setuju versus tidak setuju, Presiden baru segera mengumumkan serangkaian langkah untuk mengatasi masalah hak asasi manusia domestik dan internasional.

Baca Juga: Megawati Sampaikan Surat Amicus Curiae atau Sahabat Pengadilan ke Mahkamah Konstitusi: Semoga MK Bukan Ketok Palu Godam

Faktanya, walaupun banyak warga mempertanyakan legitimasinya karena kedekatannya dengan Soeharto, Presiden Habibie segera membentuk kabinet dengan banyak pejabat di dalamnya berasal dari Kabinet Soeharto terakhir.

Baca Juga: Denny JA: Satupena Teruskan Tradisi Menghargai Penulis Berdedikasi Lewat Satupena Award

Angin segar muncul dengan tanggapan Habibie untuk memajukan pemilihan parlemen selama 3 tahun, seraya mengadakannya di bawah undang-undang pemilihan yang direvisi, dan untuk menyelesaikan pemilihan presiden baru pada akhir tahun 1999.

Baca Juga: Presiden Jokowi Menikmati Libur Idulfitri Bersama Cucunya di Objek Wisata Satwa Deli Serdang

Selain itu, demokratisasi berlangsung setelah keluar izin pendirian partai-partai politik baru untuk membentuk dan mengadopsi sikap yang lebih responsif terhadap kelompok-kelompok yang menuntut peningkatan perlindungan terhadap hak asasi manusia.

Namun krisis ekonomi pun telah menimbulkan gesekan di antara kelompok- kelompok sosial dan etnis, dan ideologi. Dalam konteks ini berbagai studi tentang Indonesia menyoroti pula peran militer dan konsep "dwifungsi" yang memberi mereka peran politik dan sosial dalam pemerintahan.

Misi utama dari aparat keamanan adalah pemeliharaan keamanan dan stabilitas internal. Kita menyaksikan bagaimana iklim pasca-Soeharto yang lebih terbuka memfasilitasi kritik dan tantangan pada doktrin dwifungsi dari mahasiswa dan kelompok sosial lainnya.

Baca Juga: Todung Mulya Lubis: TPN Ganjar-Mahfud Minta Mahkamah Konstitusi Hadirkan Kapolri Dalam Sidang PHPU Pilpres

Baca Juga: Konflik Suku Asli Lampung vs Pendatang Bali 2012 dalam Puisi Esai Denny JA

Dengan tidak adanya perlindungan kelembagaan yang efektif, dan meskipun ada beberapa perbaikan sepanjang tahun, pendekatan yang cenderung militeristik telah menyebabkan banyak pelanggaran hak asasi manusia yang serius.

Krisis ekonomi negara yang parah menyebabkan pengangguran besar-besaran, kekurangan pangan, dan penurunan standar hidup yang signifikan, serta peningkatan kejahatan, penjarahan, dan gejala kerusakan sosial lainnya.

Baca Juga: Sidang Komite Disiplin PSSI: Persita Tangerang, Persebaya Surabaya, PSS Sleman Didenda Seratusan Juta

Kerusuhan besar sekitar tahun 1998-2001 di beberapa daerah mendorong tuntutan bagi Pemerintah untuk bertindak lebih efektif untuk mengatasi ketidaksetaraan sosial dan ekonomi dan untuk mengembalikan kestabilan.

Di berbagai pelosok Indonesia, studi-studi mengenai konflik menyoroti bagaimana ketidakpuasan sering terfokus pada keluhan pemilik tanah, terutama mereka yang dipaksa meninggalkan tanah mereka lewat konflik sumber daya alam.

Hingga saat ini misalnya, eksploitasi sumber daya alam menyebabkan degradasi lingkungan yang signifikan dengan konsekuensi sosial yang merugikan.

Baca Juga: New Year Gaza 24 B

-000-

Buku ini adalah artikulasi dari akumulasi pengalaman dan refleksi seorang aktivis, sastrawan, sekaligus akademisi.

Puisi adalah medium untuk memahami seluk beluk dari konflik kekerasan dan dampaknya. Selama 40 tahun berkarya, Denny JA telah menulis banyak karya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris (28 buku fiksi, 15 karya nonfiksi, 13 film, 66 video animasi, 77 video opini (30 tentang ajaran Sufi + 18 video tentang Bekerja dari Rumah + 29 video tentang kemanusiaan), dan 83 buku berbahasa Indonesia (34 buku fiksi, 46 buku nonfiksi, 3 buku terkait).

Baca Juga: DKI Jakarta Temukan Ratusan Penerima Kartu Jakarta Mahasiswa Unggul tidak Sesuai Data

Bagi saya buku “Jeritan Setelah Kebebasan” ini semacam ‘kotak Pandora’. Ketika membuka halaman pertama, untaian kata-kata akan menarik memori kita jauh ke dalam ‘masa lalu’ yang masih terasa dekat.

Mengapa? DJA menuangkan rentetan peristiwa yang memunculkan efek ‘virtual’. Narasi-narasi dalam puisi esai yang ditulisnya menampilkan potret realitas yang sedih, pilu, dan mencuplik sedikit asa.

Antara 1999 dan 2000, kekerasan sektarian menyebar di beberapa provinsi dari kawasan Barat hingga timur Indonesia, yang menyebabkan ribuan orang tewas dan ratusan ribu mengungsi.

Baca Juga: Hasil Rapat Rekapitulasi, KPU RI Sahkan Prabowo-Gibran Unggul di Kalimantan Barat

Di Maluku misalnya, apa yang dimulai sebagai konflik lokal antara migran dan penduduk asli atas batas-batas administratif, berubah menjadi perang agama yang mengadu domba muslim melawan Kristen dan terus mempengaruhi hubungan komunal lebih dari satu dekade setelah pertempuran berhenti.

Dirangkai berdasarkan kronika peristiwa seputar Reformasi 1998, Denny JA menuangkan perasaan dan pemahamannya tentang peristiwa konflik dan dampaknya. Dia menulis puisi untuk menyampaikan suara-suara yang “hilang” ketika konflik kekerasan terjadi.

Keluarga dari pelaku kekerasan, suara saksi /korban tidak langsung konflik itu sendiri, suara aktor yang terlibat, suara keluarga pelaku kekerasan, bahkan, ‘suara’ dari peristiwa kekerasan itu sendiri.

Baca Juga: KBRI Tokyo Kawal Penanganan 20 Warga Indonesia Anak Buah Kapal Jepang Fukuei-Maru yang Kandas di Izu

Salah satu aspek yang menonjol adalah fokus narasi pada tragedi kemanusiaan. Hal ini tertuang lewat interpretasi DJA terhadap ’suara’ lakon-lakon dalam puisi pada berbagai spektrum dinamika ketika konflik maupun dalam situasi pascakonflik yang masih menyisakan trauma.

Salah satu puisi yang memberikan impresi kuat karena penuturan jejak dari kaca mata lakonnya adalah narasi konflik etnis di Sampit.

Saya membaca puisi tentang konflik etnis Di Sampit dengan rasa penuh kecamuk. Ketika peristiwa-peristiwa horor itu berlangsung saya adalah anak rantau di ibukota yang baru saja bekerja sebagai peneliti di LIPI.

Baca Juga: Liga 1: Petik Hasil Seri Melawan Bhayangkara FC, Arema FC Merangkak Naik Satu Peringkat

Sub bab tentang Sampit diawali dengan ikon foto tugu Perdamaian Sampit. Sub bab berjudul Kerusuhan Sampit 2001, Suku Dayak Versus Suku Madura (halaman 62-99), bermuatan lima puisi esai.

Judul puisi esainya: “ Mengungsilah Dulu, Sayangku”, “Ayahku Menggali Kuburan Massal”, “Kakakku Berburu Kepala”,“Jika Kau Rindu, Pandanglah Bintang Paling Terang”, dan “Ulfah Mencari Ayah Kandung”.

Dalam kelima puisi tersebut Denny JA cukup detail mengalihbahasakan rasa sedih, marah, dan kekerasan yang berlangsung. DJA seolah adalah saksi langsung dan tidak langsung yang menyampaikan sudut pandang ‘kesaksian’ dari peristiwa-peristiwa tersebut.

Baca Juga: Lewat Sebuah Diskusi Berdua: Inilah Alasan Denny JA Memilih Berdiri di Samping Presiden Jokowi

Sebagai contoh, DJA menuangkan episode akibat konflik dari sudut pandang korban yang harus pergi dua kali dari Sampit, dalam konteks sesudah ‘perdamaian’ antara etnis Madura dan Dayak berlangsung.

Puisi berikut ini menurut saya sangat subtil menceritakan rasa rindu, sedih, sesak, dendam, marah, asa, tak berdaya yang sangat mendalam dari dua lakonnya: Jazil, pemuda asal Madura, dan Sanja, perempuan Dayak.

“Mengungsilah Dulu, Sayangku” (hal. 62).

Baca Juga: Diskusi Satupena, Satrio Arismunandar: Pers Bukan Sekadar Pilar Demokrasi, Namun Juga Ikut Bermain Politik

Rasa yang ngilu,

pelan tapi dalam,

menyelinap di hati Jazil.

Baca Juga: Liga 1: Kalahkan Tuan Rumah Persikabo 1973, Borneo FC Kian Kukuh di Puncak Klasemen

Suasana hening terbang,

dibawa angin,

memenuhi udara Kota Sampit, di satu sore tahun 2015. Sepi.

Baca Juga: Real Madrid dan Mbappe Sedang Berunding Kontrak

Juga sedih.

Empat belas tahun sudah,

Jazil pergi dari kota ini.

Baca Juga: Liga Inggris: Manchester United Dekati Empat Besar Usai Menang Melawan Luton Town

Kini, pertama kali, Jazil kembali.

Kembali ke Sampit.

Ia pulang.

Baca Juga: Pemilu 2024, Civitas Academica UKI Jakarta Imbau ASN, TNI, dan Polri Junjung Tinggi Sumpah Jabatan Etika Moral

Ia memberanikan diri.

Jazil pulang setelah berdiri Tugu perdamaian. Tugu suku Dayak dan suku Madura.

Jazil duduk di tangga.

Baca Juga: Addin Jauharudin Terpilih Sebagai Ketua Umum PP GP Ansor dalam Kongres XVI yang Berjalan Damai

Diambilnya secarik kertas, dari saku.

Catatan lama yang lusuh, dari tahun 2001, empat belas tahun lalu.

Ia baca kembali:

Baca Juga: Haruskah Lembaga Survei Memberi Tahu Siapa yang Mendanai Surveinya? Inilah Pendapat Denny JA

“Mengungsilah dulu, sayangku. Menjauh dari Kota Sampit. Semua sedang gila.

Ketika sudah reda,

kembali lagi ke sini, ke Kota Sampit.

Baca Juga: MotoGP: Ducati Berusaha Perpanjang Kontrak Francesco Bagnaia

Aku menunggumu. Kita menikah.” (Sanja, 4 Maret 2001)

Jazil terdiam.

Wajah Sanja, sang kekasih,

Baca Juga: Liga Inggris: Sikat Habis Chelsea 4-1, Liverpool Semakin Mantap di Puncak Klasemen Sementara

sudah menyatu di tulang sumsum.

Lalu Jazil menangis sesenggukan.

Entah mengapa.

Baca Juga: Ini Tema Utama Debat Capres Kelima atau Terakhir yang akan Dibahas Anies, Prabowo, dan Ganjar

Dicoba ditahan.

Badan terguncang-guncang.

Kisah empat belas tahun lalu datang kembali. Konflik berdarah suku Dayak versus suku Madura.

Baca Juga: Jadwal Debat Capres dan Cawapres Terakhir, Tema, Tempat, dan Jam Tayang

Horor. Ngeri.

Puisi di atas sangat detail menelusuri perasaan Jazil, seorang pemuda yang ketika konflik berlangsung terpaksa meninggalkan Sampit kembali ke Madura, atas desakan kekasih hatinya, Sanja.

Dengan terpaksa Jazil pergi walaupun terselip asa bahwa mereka akan jumpa kembali dan menikah setelah keadaan aman.

Baca Juga: Program BBM Satu Harga Digenjot Percepatannya di 2024 oleh BPH Migas

Peristiwa berdarah yang memisahkan mereka ini masih terngiang di benak Jazil, sebab ketika dia kembali ke Sampit, empat belas tahun setelah konflik, hal pertama yang dilakukannya adalah membaca kembali surat Sanja yang selalu dia simpan.

DJA melanjutkan lagi,masih dalam puisi panjang ini kronik peristiwa yang membingkai perjalanan cinta Jazil dan Sanja hingga titik perpisahan mereka:

Itu tahun 2001.

Baca Juga: Piala Asia 2023: Malam Ini Siaran Langsung Indonesia Vs Australia di RCTI Pukul 18.30 WIB

Usia Jazil 22 tahun.

Sanja, oh Sanja, gadis Dayak 20 tahun,

oh pujaan hati.

Baca Juga: Dubes RI untuk Malaysia Hermono Merespons Video yang Tuduh Intervensi Intelijen dalam Pemilu 2024

Bulan purnama depan, mereka menikah.

Rumah itu, pemberian ayah Jazil.

Mungil saja.

Baca Juga: Duh, Wartawan Ini Kecopetan saat Meliput Debat Capres Cawapres di JCC

Tapi banyak pohon.

Berdua mereka rawat itu rumah.

“Ini nanti kamar untuk anak kita ya,” pinta Sanja.

Baca Juga: Pengamat Komunikasi Anang Sujoko: Debat Keempat Pilpres akan Tampilkan Kelebihan Cawapres

Di ruang tamu itu, terpasang wajah Sanja.

Jazil sendiri yang melukisnya.

Cinta memenuhi itu rumah.

Baca Juga: In Memoriam Abdul Hadi WM: Penulis Besar Selalu Hidup Melalui Karyanya

Kemesraan menempel di mana-mana, di plafon, di lemari, di meja.

Kasih sayang menggelantung di jendela, di pintu.

“Oh kedalaman kasih sayang, kau kupu-kupu yang selalu hinggap di hatiku.” Itulah yang dirasakan Jazil.

Baca Juga: Simak Jadwal Laga Kamis: Piala Asia 2023, Piala Afrika 2024, dan Kiprah Indonesia di India Open

Saat itu, orang tua Sanja menerima Jazil.

“Saya tak tahu apakah masih ada darah Madura di tubuh saya,”

ujar Jazil kepada Ayah Sanja, tokoh Dayak.

Baca Juga: Tidak Terima Jadi Tersangka, Siskaeee Mohon Praperadilan, Begini Reaksi Polda Metro Jaya

Lanjut Jazil, “Saya hanya mendengar.

Buyut saya dari Madura.

Tahun 1930, ia ikut transmigrasi ke sini.”

Baca Juga: Imlek 2024, Begini Gambaran Karakter Orang yang Lahir di Tahun Naga, Lengkap dengan Kelebihan dan Kelemahannya

Tapi saya, ayah saya, kakek saya, lahir di sini,

di Kalimantan Tengah.

Lalu meledaklah konflik itu.

Baca Juga: Makna Tersembunyi Tahun Naga di Hari Raya Imlek 2024, Ternyata Bagus Banget

Puncaknya 18-21 Febuari 2001.

Ratusan suku Madura tak hanya dibunuh suku Dayak,

tapi juga dipancung kepalanya.

Baca Juga: Jadwal Terkini Hari Raya Imlek 2024, Libur dan Cuti Bersama

Sore itu, Jazil menjerit kencang sekali.

Ayahnya mati di tangan suku Dayak.

Jazil melolong.

Baca Juga: Liga Jerman: Bayer Leverkusen Tundukkan Augsburg 1-0 dan Amankan Posisinya di Puncak Klasemen Sementara

Suaranya menyentuh langit:

“Tidaaaaaakkkkk!

Apa salahmu, Ayah?

Baca Juga: Liga Inggris: West Ham Hanya Mampu Bermain Imbang 0-0 lawan Brighton di Pekan ke-20

Kau tak ikut konflik ini!”

Paman minta Jazil pergi dari Sampit.

“Tapi paman, aku akan menikah dengan gadis Dayak. Aku aman di sini.” Paman membentak: “Hei, kau mau mati?

Baca Juga: Timnas Indonesia Harus Telan Pil Pahit, Kalah Telak 0-4 Lawan Libya

Buka matamu. Lihat pak Hasyim. Istrinya juga orang Dayak. Ia juga dipancung!!”

 Jazil tak terpengaruh.

“Cintaku lebih kuat dibandingkan seribu gunung, mengalahkan rasa takutku,”

Baca Juga: Rumah Grealish Dibobol Maling Ketika Laga Manchester City vs Everton

Jazil yakinkan diri.

Sampailah momen itu.

kakak lelaki Sanja datang padanya, Menyampaikan secarik kertas itu.

Baca Juga: Moeldoko Adukan Majalah Tempo ke Dewan Pers

Surat dari Sanja, memintanya mengungsi.

“Di mana aku bisa temui Sanja?,” tanya Jazil.

Sang kakak menjelaskan.

Baca Juga: Timnas Indonesia Santap Menu Latihan Penguatan Fisik di TC Turki

“Ini bukan waktu yang tepat.Bahaya bukan hanya buat Jazil.

Juga bahaya buat Sanja.

“Bahaya buat keluarga.

Baca Juga: Sortir dan Lipat Surat Suara di Jakarta Barat Dimulai 2 Januari 2024

Kami akan dituduh berkhianat.”

Kakak Sanja menjelaskan. Ayah mereka juga berubah. Jazil tak lagi diterima.

Jazil orang Madura. Ayah Sanja tokoh Dayak. Bahaya di mana-mana.

Baca Juga: Ganjar Pranowo Berjanji Hapus Syarat Batas Usia Daftar Kuliah dan Bekerja

Semua daun-dan ranting menjadi mata-mata. Mencari siapa pun orang Madura.

Juga suku Dayak yang membantu Madura.

Itulah hari terakhir Jazil di Kota Sampit.

Baca Juga: Survei LSI Denny JA: Elektabilitas PSI yang Dipimpin Kaesang Hanya 1,5 Persen, Gerindra Salip PDI Perjuangan

Ia mengungsi ke Jawa Timur,

naik kapal yang dikawal TNI angkatan laut.

Di tengah laut, di malam itu, di perjalanan keluar dari Kalimantan, di geladak kapal, Jazil berteriak:

Baca Juga: Ditemani Erick Thohir, Prabowo Subianto Makan Siang Bersama Pelaku Usaha Muda

“Sanja, Sanja, tunggu aku. Segera aku kembali. Tunggu akuuuuuuuu.”

Tidak jelas sama sekali, kecuali bahwa perbedaan identitas etnis yang memaksa mereka berpisah, apa yang sebenarnya harus memisahkan mereka yang akan menuju pelaminan itu. Kekerasan adalah satu-satunya asal perpisahan.

Ayah Jazil meninggal setelah dibunuh dan dipancung kepalanya oleh salah satu warga suku Dayak, padahal keluarga mereka telah menjadi orang lokal sejak bermigrasi tahun 1930.

Baca Juga: Yasonna H Laoly Dampingi Megawati Soekarnoputri Selama Jadi Juri Jayed Award 2023 di Roma

Bahkan Jazil pun mempunyai pacar dari suku Dayak. Cerita bahwa ada orang Dayak yang bersuamikan orang Madura tetapi tetap dipancung oleh suku Dayak pun tidak membuatnya surut.

Alhasil, hanya surat Sanjalah yang dapat menyuruh Jazil pergi keluar dari Sampit. Sanja telah mewujudkan rasa cintanya: menyelamatkan nyawa Jazil.

Namun, alangkah sedihnya, Jazil bisa kembali ke Sampit tahun 2015, tapi takdir belum mampu mempertemukan mereka seperti semula.

Baca Juga: Jadi Juri Zayed Award 2024, Megawati Diwawancarai Radio Vatikan

DJA telah menjadi saksi proses Reformasi pasca mundurnya Soeharto pada Mei 1998. Puisi yang ditulis di atas merefleksikan esensi kemanusiaan yang mendalam untuk memahami dampak menyeluruh dari konflik pada orang-orang yang berada di lokasi konflik.

Bahkan pada masa sesudah konflik berakhir. Trauma dan kenangan pahit masih membekas.

Puisi-puisi dalam buku ini mengartikulasikan kesedihan dan kegelisahan yang masih terdengar resonansinya sampai saat ini, sebab solusi tidak jelas atau tidak ada.

Baca Juga: Dugaan Operasi Tangkap Tangan Gubernur Abdul Gani Kasuba, KPK Gelandang 3 Pejabat Maluku Utara ke Jakarta

Gema dari kata-kata puitis menurut saya melampaui gema dari konflik kekerasan.

Bahasa sastrawi DJA telah 'sukses' mengeksplorasi bagaimana individu punya kuasa sebenarnya untuk berpartisipasi dalam kekerasan, sekaligus memunculkan kesadaran untuk tidak memperumit upaya resolusi konflik dan rekonsiliasi.

Seturut dengan terbitnya buku puisi ini, saya kembali mengingat bahwa tidak bisa diingkari bahwa Mei 1998 adalah penanda dari bergulirnya awal perubahan kelembagaan dan substansi demokrasi di Indonesia.

Baca Juga: BMKG: Hujan Lebat Berpotensi Turun di Beberapa Kota

Di satu sisi imbas dari krisis finansial yang menerpa, diikuti dengan krisis politik. Di Indonesia hal ini bermuara pada mundurnya Soeharto yang telah memimpin sangat lama. Di sisi lain, krisis politik telah membuka ruang positif dan negatif secara bersamaan-- atau lebih banyak dikenal sebagai ‘kotak Pandora.’

Di tengah derasnya aliran informasi yang diperantarai oleh penggunaan ‘smart gadgets’ yang cenderung nir-refleksi, saya merekomendasikan buku ini untuk dibaca oleh penstudi sastra Indonesia.

Buku ini juga sangat bernilai sebagai bahan bacaan bagi mereka yang ingin menyelami sudut pandang ‘saksi’ dari rangkaian proses perubahan sosial politik yang dinamis dan merupakan bagian sejarah Indonesia. ***

Baca Juga: Peringati Hari Bela Negara, Ibnu Chuldun: Bersatu dan Berkontribusi untuk Indonesia Maju

Melbourne, 20 Oktober 2022

*Irine Hiraswari Gayatri adalah Kandidat Ph.D pada Monash Gender, Peace and Security Centre, School of Social Sciences, Monash University, Australia. Peneliti senior di Pusat Kajian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Buku Puisi Esai Denny JA mengenai 25 drama kisah konflik primordial di 5 wilayah dalam bahasa Inggris dapat diklik di sini: SCREAMS FOLLOWING LIBERATION (2022)

Baca Juga: Permohonan Layanan Melonjak, Sandi Andaryadi: Imigrasi DKI Jakarta Harus Bekerja Prima

https://dennyja.world/wp-content/uploads/2022/12/Denny-JA_Screams-Following-Liberation-1_compressed.pdf

Berita Terkait