DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Komunis Yaman dan Mispersepsi Umat Islam Indonesia

image
Sumanto Al Qurtuby tentang Yaman

ORBITINDONESIA - Populasi warga Arab keturunan Yaman di Indonesia jumlahnya lumayan banyak. Selama ini kadang terjadi mispersepsi orang Indonesia terhadap Yaman. Simak opini Sumanto al Qurtuby:

Bagi masyarakat Indonesia pada umumnya, baik Muslim maupun bukan, Yaman (nama resminya: Republik Yaman atau al-Jumhuriyyah al-Yamaniyyah) yang terletak di Asia Barat dan Semanjung Arabia ini dikenal sebagai “negeri para habib dan sayyid” dan leluhur sebagian komunitas Arab Muslim di Indonesia.

Banyak umat Islam di Indonesia bahkan mengelu-elukan komunitas sadah (kaum habib dan sayyid) di Yaman ini karena dianggap sebagai “keturunan” Nabi Muhammad.

Baca Juga: New Year Gaza 24 B

Baca Juga: Contoh Naskah Puisi Tema Hari Sumpah Pemuda untuk Lomba, Isinya Keren dan Milenial

Meskipun tentu saja banyak yang baik, toleran, dan nasionalis (seperti Habib Luthfi bin Yahya), sebagian dari mereka sering membuat keonaran di Indonesia dengan menebarkan intoleransi, fitnah, kedengkian, permusuhan, dan kekerasan dengan sesama umat manusia.

Seperti yang dilakukan oleh Rizieq Syihab, Husein Al Habsyi, Zein Al-Kaff, dan baru-baru ini anak muda bernama Bahar Bin Smith.

Baca Juga: Survei LSI Denny JA: Elektabilitas PSI yang Dipimpin Kaesang Hanya 1,5 Persen, Gerindra Salip PDI Perjuangan

 

Di Yaman sendiri, kelompok sayyid ini sangat minor, terbatas, dan sama sekali tidak memiliki pengaruh politik dan ekonomi di negaranya. “Pamor” keagamaan mereka cuma terbatas di beberapa tempat, sebagian besar terkonsentrasi di kota Tarim, Hadramaut, Yaman Selatan, yang dikenal sebagai “kota sadah”.

Di Tarim ini ada para mahasiswa dan santri Indonesia yang belajar tentang aneka ragam studi Islam khususnya di al-Ahqaf University, Rub al-Tarim (Rubat Tarim), Dar al-Zahra, dan Dar al-Musthafa.

Baca Juga: Ditemani Erick Thohir, Prabowo Subianto Makan Siang Bersama Pelaku Usaha Muda

Baca Juga: Simak Kumpulan Puisi Bertema Hari Sumpah Pemuda 2022, Cocok untuk Lomba di Sekolah, Kampus, dan Kantor

Karena sudah eksis sejak abad-abad silam, maka populasi warga Arab-Yaman (khususnya Hadramaut) di Indonesia memang jumlahnya lumayan banyak dan tersebar di berbagai kawasan: Aceh, Palembang, Jakarta, Bogor, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Solo, Surabaya, Lombok, Pontianak, Banjarmasin, Ambon, dan masih banyak lagi.

Meskipun komunitas ini sudah cukup lama datang di kawasan yang kemudian bernama “Indonesia” tetapi migrasi mereka dari Yaman ke kepulauan ini baru terjadi secara intensif pada abad ke-19 (simak buku klasik L.W.C. van den Berg tentang “koloni Arab Hadrami” di nusantara).

Baca Juga: Yasonna H Laoly Dampingi Megawati Soekarnoputri Selama Jadi Juri Jayed Award 2023 di Roma

Yakni, ketika ditemukan teknologi “mesin uap” sehingga memudahkan arus migrasi orang-orang Arab ke nusantara.

 

 

Baca Juga: Jadi Juri Zayed Award 2024, Megawati Diwawancarai Radio Vatikan

 

Ada banyak faktor yang menyebabkan mereka dulu berkelana ke nusantara, antara lain karena faktor kekeringan, kemiskinan, kelaparan, minimnya lapangan kerja, konflik dan peperangan, dlsb.

Baca Juga: Kepolisian Kota Padang Inspeksi Apotek dan Toko Obat, Masih Menemukan Obat Berbentuk Sirup

Baca Juga: Dugaan Operasi Tangkap Tangan Gubernur Abdul Gani Kasuba, KPK Gelandang 3 Pejabat Maluku Utara ke Jakarta

Hingga kini, Yaman masih dilanda kekerasan dan kelaparan yang membuat negara ini buram, bangkrut, dan berantakan sehingga masuk menjadi salah satu negara termiskin dan terbangkrut di dunia.

Seperti dijelaskan di atas, di antara orang-orang Arab Yaman yang melancong ke nusantara ada yang mengklaim dari kelompok sadah, asyraf, atau haba’ib.

Yaitu, kelompok yang mengaku sebagai “keturunan” Nabi Muhammad, khususnya dari jalur Ali bin ‘Alawi (sehingga sering disebut Ba’ ‘Alawi) yang merupakan keturunan langsung dari Ahmad bin Isa al-Muhajir yang konon “keturunan” ke-10 Nabi Muhammad

Baca Juga: BMKG: Hujan Lebat Berpotensi Turun di Beberapa Kota

(sengaja saya pakai “tanda kutip” karena saya tidak sependapat kalau mereka adalah keturunan nabi. Saya lebih suka menyebut mereka sebagai keturunan Ali bin Abi Thalib).

Baca Juga: Kepolisian Lebak Banten Tangkap PNS yang Cabuli Anak Gadisnya

Tetapi ada pula yang dari komunitas non-sadah, yaitu kelompok Irsyadi (golongan menengah) dan Qaba’il (kelas rendahan).

Baca Juga: Peringati Hari Bela Negara, Ibnu Chuldun: Bersatu dan Berkontribusi untuk Indonesia Maju

Dalam sejarahnya, di Yaman, komunitas Irshadi ini sering terlibat konflik dengan kelompok sadah karena “rebutan” otoritas keislaman, konflik atas klaim sebagai “keturuan” nabi, serta perbedaan tafsir atas pemahaman keagamaan (lihat studi Nels Johnson, Islam and the Politics of Meaning in Palestinian Nationalism).

 

 

Baca Juga: Permohonan Layanan Melonjak, Sandi Andaryadi: Imigrasi DKI Jakarta Harus Bekerja Prima

 

 

Yaman yang majemuk

Baca Juga: Denny JA: Puisi Esai Waktunya Masuk Kampus dan Sekolah

Seperti laiknya negara-negara lain di dunia ini, Yaman juga negara majemuk dengan berbagai ragam kelompok etnis, agama, suku, dan faksi politik dan idelogi.

Baca Juga: Hasil Liga Italia 2022/2023: As Roma Tumbang di Markas Usai Ditekuk Napoli

Yaman yang berbatasan dengan Oman dan Arab Saudi inibukan hanya dihuni oleh kaum sadah. Bahkan bukan hanya kaum Muslim, kaum Yahudi Yaman (al-Yahud al-Yaman) juga eksis, dimana kaum perempuannya juga mengenakan cadar (burqa atau niqab) sebagaimana laiknya perempuan Muslimah Salafi-Wahabi.

Baca Juga: Kepala Kanwil Kemenkumham DKI Jakarta Ibnu Chuldun Resmikan Laboratorium Peradilan Pidana Universitas Yarsi

Yaman, khususnya Yaman utara, juga rumah bagi berbagai faksi militan-radikal-Islamis-teroris dari berbagai kelompok, aliran, dan mazhab keislaman.

Disinilah sejumlah pentolan Salafi, termasuk pemimpin “almarhum” Laskar Jihad, Ja'far Umar Thalib berserta anak-anak didiknya, dikader dan digembleng spirit jihadisme oleh beberapa ulama militan seperti Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wad’i, Syaikh Yahya al-Hajuri, atau Syaikh Abdurrahman al-Adeni.

Selanjutnya, Yaman juga dalam sejarahnya menjadi salah satu basis "kaum kiri" terbesar di Timur Tengah, baik mereka yang berideologi-politik dan berhaluan Komunis, Sosialis, maupun Marxis-Leninis.

Baca Juga: Pembunuh Petugas Imigrasi Tri Fattah Firdaus Jadi Tersangka, Sandi Andaryadi: Kami Apresiasi Polda Metro Jaya

Baca Juga: Tokoh Muda Golkar Riko Lesiangi Ingatkan Airlangga Hartarto agar Segera Deklarasikan Calon Presiden 2024

Bahkan Yaman Selatan dulu pernah menjadi "Negara Komunis" sebelum era unifikasi tahun 1990.

Sebelum menjadi "Republik Yaman" tahun 1990 yang menggabungkan antara selatan dan utara, kawasan Yaman dibagi menjadi dua: Yaman Selatan (disebut Republik Demokrat Rakyat Yaman) dan Yaman Utara (disebut Republik Arab Yaman).

Baca Juga: Warga Negara Asing Asal Korea Selatan Jadi Tersangka Pembunuhan Petugas Imigrasi Tri Fattah Firdaus

Kelompok kiri pada umumnya bercokol di Yaman Selatan. Karena menjadi rumah berbagai kelompok ideologi-politik inilah, Yaman tidak pernah sepi dan absen dari konflik dan kekerasan.

Perang Sipil berkali-kali meletus disini yang menyebabkan korban tak terhingga, baik jiwa maupun harta-benda.

Baca Juga: Ponsel Gaming iQoo Segera Hadir di Indonesia, Ini Spesifikasinya

Baca Juga: Di Gedung Long See Tong Kota Padang, Mahfud MD Janji Perjuangkan Hak Adat

Saat ini perang sipil berbagai kelompok politik-agama-ideologi juga sedang berkecamuk, khususnya di Yaman utara. Tak peduli, meskipun sama-sama beretnik / bersuku Arab, mereka saling berperang satu sama lain.

Bahkan bukan hanya di zaman modern ini. Sejak zaman dulu, Yaman menjadi ajang pertempuran dan penaklukkan berbagai kelompok politik kekuasaan. Dulu, pada awal abad Masehi, Yaman pernah berada di bawah kekuasaan Kerajaan Yahudi Himyarite.

Kemudian kelompok Kristen datang menaklukkan Yaman, dan belakangan kaum Muslim Arab yang gantian menganeksasi. Sejak itu, beberapa dinasti silih berganti mengontrol Yaman, yang terkuat dan termakmur adalah Dinasti Rasulid.

Baca Juga: Muhaimin Iskandar Janjikan Tunjangan Ibu Hamil, Guru Mengaji, dan Bebaskan Pajak Bumi Bangunan

Turki Usmani dan Inggris juga pernah menjajah Yaman. Sebelum Republik Arab Yaman berdiri pada tahun 1962, Kerajaan Yaman Mutawakkiliyah yang berhaluan Syiah Zaidi berdiri di Yaman Utara pasca Perang Dunia I.

Baca Juga: Pelaku Usaha Milenial se Banyumas Raya Dukung Gibran Rakabuming Raka Maju Pilkada Jawa Tengah 2024

Kaum radikal Islamis (seperti al-Ishlah atau al-Tajammu' al-Yamani li al-Ishlah), kelompok nasionalis (seperti al-Muktamar al-Sya'abi al-am), dan sosialis-komunis (seperti al-Hizb al-Isytirak al-Yaman), semua beretnik Arab, saling berkelahi, saling bunuh, dan berebut kekuasaan.

Baca Juga: Syafrin Liputo: DKI Jakarta Bebas Kendaraan Bermotor Malam Natal dan Tahun Baru di Jalan Sudirman-MH Thamrin

Ini belum termasuk konflik dan kekerasan berbagai faksi Islam: seperti faksi Sunni dan Syiah Zaidi.

Sejumlah sarjana seperti Tareq Ismael, Victoria Clark, Murray Gart, dan Mark Katz telah mengulas dengan baik sejarah dan perkembangan konflik dan kekerasan antarfaksi ideologi-politik-agama di Yaman, termasuk faksi sosialis-komunis.

 

Baca Juga: Taman Mini Indonesia Indah Gelar Konser Musik untuk Natal dan Tahun Baru

 

Yaman Selatan pernah menjadi satu-satunya negara komunis di seantero Timur Tengah.

Baca Juga: Ikan Panggang Khas Lampung Timur Ini Cocok Tuk Menu Makan Siang

Baca Juga: Dinas Kesehatan: Pengidap COVID 19 di Jakarta Mencapai 200 Kasus per Hari

Yaman Selatan memperoleh kemerdekaan dari Inggris tahun 1967. Dua tahun kemudian (1969), kaum komunis di bawah payung People's Democratic Union mengontrol negara dan mengimplementasikan Komunisme sebagai ideologi negara.

Pada waktu itu, Yaman Selatan menjadi satu-satunya negara komunis di seantero Timur Tengah mengingat kaum komunis di kawasan lain mulai melemah pengaruhnya sejak dibombardir oleh Amerika dan sekutunya sejak Perang Dunia II.

Sebagai Negara Komunis, Yaman Selatan dulu menjalin aliansi dengan Uni Soviet, Republik Rakyat China, Kuba, dan Jerman Timur.

Baca Juga: Relawan Santri Muda Garut Dukung Ganjar Pranowo-Mahfud MD

Partai Komunis Yaman (baca: People's Democratic Union) secara resmi berdiri tahun 1961. Pendirinya adalah Abdallah bin Abd al-Razzaq Ba Dhib yang merupakan salah satu pentolan komunis Arab Timur Tengah.

Baca Juga: Kolaborasi Warteg Sosialisasikan Program Sumber Daya Manusia Andalan Ganjar Pranowo di Kawasan Tanah Abang

Kelak, ketika ia wafat tahun 1976, tonggak partai ini dikendalikan oleh saudaranya Ali Ba Dhib dan kemudian Abu Bakar Ba Dhib.

Baca Juga: Ganjar Pranowo Ikut Kirab Budaya Nitilaku UGM  Yogyakarta

Pada tahun 1986, Partai Komunis Yaman bersama sejumlah partai dan kelompok kiri lain termasuk Partai Ba'ath bergabung dengan Partai Sosialis Yaman yang berhaluan Marxist-Leninist.

Partai Sosialis Yaman (berdiri tahun 1978) merupakan gabungan dari berbagai elemen, partai, dan kelompok politik beraliran kiri, baik di Yaman selatan maupun di Yaman utara. Pendiri Partai Sosialis Yaman adalah Abdul Fattah Ismail yang sangat pro-Soviet.

Ada cukup banyak tokoh dan pentolan kelompok / partai komunis, sosialis atau Marxis-Leninis di Yaman seperti (selain beberapa yang disebutkan di atas) Haidar Abu Bakar al-Attas (pernah ditunjuk oleh Presiden Ali Abdullah Saleh sebagai Perdana Menteri Republik Yaman tahun 1990-94), Muhammad Ghalib Ahmad, Ali Nasser Muhammad, Ali Salim al-Beidh, Ali Saleh Obad, Yasin Said Nu'man, Abdulrahman al-Saqqaf, dlsb.

Baca Juga: Buruh Rokok di Kudus Deklrasi Dukung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka

Baca Juga: Hasil Liga Inggris: Perdayai Tottenham Hotspur, Newcastle Merangsek Empat Besar Klasemen

 

 

Baca Juga: Pesantren Lirboyo Kediri Dukung Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar

Perlu diketahui, dalam konteks Timur Tengah, meskipun mereka aktif di parpol atau ormas yang berkaitan dengan Komunis atau Marxis-Leninis, itu bukan berarti bahwa mereka adalah pengikut ateisme seperti umumnya disalahpahami di Indonesia yang gemar menyamakan komunis dengan ateis.

Padahal, komunisme dan ateisme adalah dua filosofi dan “pandangan dunia” yang sangat berbeda.

Di Timur Tengah, berbagai kelompok mengadopsi komunisme itu semata-mata hanya sebagai strategi, taktik, dan ideologi gerakan perlawanan terhadap kekuasaan atau kekuatan politik tertentu yang tidak ada sangkut-pautnya dengan ateisme.

Baca Juga: Diskusi SATUPENA, Neng Dara Affiah: Umat Islam tidak Punya Alasan Menolak Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia

Meskipun tentu saja ada yang sekularis-ateis, tetapi banyak aktivis dan pengikut komunis yang tetap berpegang teguh pada agama Islam, Kristen, atau Yahudi, ketiga kelompok agama yang dulu mengimpor komunisme Soviet ke Timur Tengah: Irak, Mesir, Suriah, Yordania, Libanon, Palestina, Iran, Yaman dan bahkan Arab Saudi.

Baca Juga: Terkuak Penusukan Siswi Kelas 6 SD di Cimahi

Sebagian kelompok komunis ini tumbang, sebagian bermimikiri menjadi partai dan ormas kiri lain, sebagian berkoalisi dengan partai dan kelompok non-kiri, sebagian lagi masih eksis, meskipun sangat terbatas pengaruh idologi-politiknya.

Baca Juga: Diskusi SATUPENA, Satrio Arismunandar: Hak Asasi Manusia dan Pembaruan Islam Terus Berkembang

(Oleh: Sumanto Al Qurtuby di #DWNesia, 2018)

*Sumanto Al Qurtuby adalah anggota dewan pendiri Nusantara Kita Foundation dan Presiden Nusantara Institute. Ia juga Dosen Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Dhahran, Arab Saudi.

Ia pernah menjadi fellow dan senior scholar di berbagai universitas seperti National University of Singapore, Kyoto University, University of Notre Dame, dan University of Oxdord. Ia memperoleh gelar doktor (PhD) dari Boston University, Amerika Serikat, di bidang Antropologi Budaya, khususnya Antropologi Politik dan Agama.***

Baca Juga: Perkumpulan Penulis SATUPENA Hadirkan Neng Dara Affifah dalam Diskusi Hak Asasi Manusia dan Pembaruan Islam

 

Berita Terkait