DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Denny JA: Kakakku Berburu Kepala; Konflik Sampit, Suku Dayak versus Suku Madura, 2001

image
Kakakku Berburu Kepala

ORBITINDONESIA - Pendiri OrbitIndonesia.com, Denny JA memiliki keprihatinan yang mendalam terhadap berbagai konflik SARA yang pernah terjadi di Indonesia.

Bagi Denny JA, begitu banyak korban manusia dari konflik itu sehingga harus segera diatasi, syukur-syukur bisa dicegah jangan sampai terjadi.

Karena keprihatinan itulah, Denny JA menyempatkan menulis puisi dan berbagai esai tentang isu konflik bernuansa SARA di Indonesia. Berikut ini puisi esai mini karyanya:

Baca Juga: Liga Inggris: Sheffield United Jadi Tim Pertama yang Terdegradasi

Baca Juga: Tidak Dapat Diwakilkan, Begini Cara Terima Bansos PKH Tahap 3 Periode Juli 2022

KAKAKKU BERBURU KEPALA

- Konflik Sampit, Suku Dayak versus Suku Madura, 2001

Baca Juga: Liga 1: Persib Bandung Pastikan Masuk ke Championship Series

Denny JA

Teks di WA japri itu singkat saja.
“Kakakmu, Ampong, wafat tadi pagi. Ia tinggalkan barang yang paling disayanginya: Mandau. Pesannya: Mandau ini untukmu.”

“Ampong juga mohan maaf jika ia menyakitimu. Aku selaku istrinya juga prihatin. Kalian berdua dulu kakak adik yang sangat akrab. “

Baca Juga: Megawati Sampaikan Surat Amicus Curiae atau Sahabat Pengadilan ke Mahkamah Konstitusi: Semoga MK Bukan Ketok Palu Godam

Baca Juga: Robert Lewandowski Resmi Milik Barcelona 4 Tahun ke Depan, Penggemar: Welcome to Our Family LEWANGOALSKI

“Tapi kini, dua puluh tahun sudah kalian bermusuhan. Tak saling berkabar. Kakakmu sudah wafat. Sudahilah pertengkaran kalian.”

“Konflik Suku Dayak dan Suku Madura itu memisahkan kalian.”

Baca Juga: Presiden Jokowi Menikmati Libur Idulfitri Bersama Cucunya di Objek Wisata Satwa Deli Serdang

Dahen membaca teks itu, berulang- ulang. Lama ia terdiam.

Teks istri kakaknya itu membawa masa silam datang kembali.

Baca Juga: Bagaimana Cara Mengecek Nama Penerima Bansos PKH Tahap 3? Simak Tahapannya di Sini

Baca Juga: Todung Mulya Lubis: TPN Ganjar-Mahfud Minta Mahkamah Konstitusi Hadirkan Kapolri Dalam Sidang PHPU Pilpres

Konflik mengerikan suku dayak melawan suku madura, di Sampit, tahun 2001, dua puluh tahun lalu, keluar serentak, berhamburan dari memorinya.

Jeritan kesakitan 500 orang yang mati dibunuh dalam konflik itu bergema di plafon kamarnya, bergetar dari dinding- dinding.

Lebih dari 1000 pengungsi akibat konflik itu ketakutan dan menangis, dari masa lalu, hadir kembali dalam ruangannya.

Baca Juga: Sidang Komite Disiplin PSSI: Persita Tangerang, Persebaya Surabaya, PSS Sleman Didenda Seratusan Juta

Dan ini gambar yang paling Dahen tak suka. Awal permusuhan panjang Dahen dan Kakaknya, Ambong.

Baca Juga: Waspada, Modus Operandi Kejahatan Baru di Resepsi Pernikahan

Lebih dari 100 kepala orang Madura dipancung suku Dayak. (1) Itu tradisi lama dayak: Ngayau.

Baca Juga: New Year Gaza 24 B

Musuh tak cukup dibunuh. Sumber kekuatan musuh ada di kepala manusia.

Kepala musuh harus dipancung, dibawa pulang, dijadikan bagian pesta pora dan ritual adat.

Dahen menepuk- nepuk pipinya kiri dan kanan.
Ia ingin imajinasi itu pergi dari pikiran.

Baca Juga: DKI Jakarta Temukan Ratusan Penerima Kartu Jakarta Mahasiswa Unggul tidak Sesuai Data

Baca Juga: Arema FC Luncurkan Bus Baru yang Elegan untuk Tim

Tapi bayangan Lebih dari 100 kepala orang Madura itu bergelantungan di jendela, di pintu dan di lemarinya.

“Ampuun, ampuun. Stop. Stoooppp!!! “

Baca Juga: Hasil Rapat Rekapitulasi, KPU RI Sahkan Prabowo-Gibran Unggul di Kalimantan Barat

Dahen memukul- mukul meja. Ia tak ingin bayangan itu berlama- lama menghantuinya.

-000-

Sampit, Kalimantan Tengah, tahun 2001.
Saat itu, usia Dahen 30 tahun.
Usia Ambong 33 tahun.

Baca Juga: KBRI Tokyo Kawal Penanganan 20 Warga Indonesia Anak Buah Kapal Jepang Fukuei-Maru yang Kandas di Izu

Baca Juga: Wakapolri Komjen Gatot Eddy Pramono Raih Gelar Guru Besar dari Universitas Riau

Berdua, bersama ribuan warga Dayak lain, mereka memendam marah,
memendam cemburu kepada pendatang suku Madura.

Awalnya, di tahun 1930.
Suku Madura bertransmigrasi ke Kalimantan Tengah.
Mereka beranak- pianak.
Kini jumlah suku Madura, membengkak.
Sangat banyak.
Total lebih 21 persen dari semua populasi di sana.

Baca Juga: Liga 1: Petik Hasil Seri Melawan Bhayangkara FC, Arema FC Merangkak Naik Satu Peringkat

Tapi banyak orang Madura sangat lincah.
Mereka lebih sejahtera.
Lebih menonjol di perkebunan.
Lebih kuasa di pertambangan.
Lebih hebat di perdagangan.
Juga lebih petantang- petenteng di kehidupan malam.

Baca Juga: Fosil Manusia Berusia 1,4 Juta Tahun Ditemukan di Spanyol, Peradaban Pertama di Eropa

Suku Dayak dan Suku Madura tak menyatu.
Satu air, satu minyak.
Sudah banyak terdengar terjadi konflik.

Baca Juga: Lewat Sebuah Diskusi Berdua: Inilah Alasan Denny JA Memilih Berdiri di Samping Presiden Jokowi

Ada kabar orang dayak diperkosa orang Madura.
Rumah Madura dibakar orang Dayak.

Ada selintingan tanah orang Dayak diambil orang Madura.
Ada pula kabar satu keluarga Madura dihajar habis orang Dayak.

Ada bara dalam sekam.
Api siap menyala.
Gunung siap meletus.

Baca Juga: Diskusi Satupena, Satrio Arismunandar: Pers Bukan Sekadar Pilar Demokrasi, Namun Juga Ikut Bermain Politik

Baca Juga: Duh, Google dan YouTube Belum Muncul di Daftar PSE Kemkominfo, Diblokir?

Semua terdengar oleh Dahen, seperti angin lalu.
Entah benar, entah tidak. Dahen tak melihatnya sendiri. Hanya kabar dari mulut ke mulut.

Tapi Dahen ingat itu peristiwa. Dahen, Ambong dan puluhan orang Dayak, dikumpulkan oleh Hanyi. Ia tokoh suku Dayak yang dihormati, dituakan.

Baca Juga: Liga 1: Kalahkan Tuan Rumah Persikabo 1973, Borneo FC Kian Kukuh di Puncak Klasemen

Itu hari ketika langit di Sampit menghitam.
Roh dari alam baka berterbangan.
Burung- burung aneh dari masa purba hinggap di pohon, di tiang- tiang listrik.

Udara panas, ibu dari segala amarah, menyelinap di hati.

Baca Juga: Kapolres Metro Jakarta Selatan dan Karo Paminal Divisi Propam Dinonaktifkan

Baca Juga: Real Madrid dan Mbappe Sedang Berunding Kontrak

“Para kerabat, sedulur, keluarga besar. Dengarlah. Dayak harus bersatu. Dayak harus melawan. Ini tanah leluhur kita.”

“Itu suku Madura hanya pendatang. Mereka menumpang di sini.

Tapi mereka merasa lebih kuasa. Berani- beraninya, mereka menyiksa kita pula. Membantai kita pula. Menantang kita pula.”

Baca Juga: Liga Inggris: Manchester United Dekati Empat Besar Usai Menang Melawan Luton Town

Hanyi berorasi.
Ia menyiram bensin banyak sekali kepada kayu kering yang siap membakar.

Baca Juga: Satupena Akan Diskusikan Peran Mantan PM Shinzo Abe dan Demokrasi Ala Jepang

“Dengarlah.
Saya bacakan peristiwanya. “

Baca Juga: Pemilu 2024, Civitas Academica UKI Jakarta Imbau ASN, TNI, dan Polri Junjung Tinggi Sumpah Jabatan Etika Moral

Hanyi mengambil buku tulis. Ia mencatat banyak kejadian di buku itu. (2)

“Tahun 1972 di Palangka Raya, gadis Dayak diperkosa oleh pemuda Madura.

Tahun 1982, seorang Dayak dibunuh, tidak ada penyelesaian.”

Baca Juga: Addin Jauharudin Terpilih Sebagai Ketua Umum PP GP Ansor dalam Kongres XVI yang Berjalan Damai

Tahun 1983 di Kasongan, satu Dayak dikeroyok 30 orang Madura.

Tahun 1996 di Palangka Raya, gadis Dayak diperkosa dan dibunuh di bioskop.”

Baca Juga: Rasulullah SAW Sangat Perhatian Kepada Seorang Pemuda Jomblo Sehingga Dibantu untuk Bisa Menikah

Baca Juga: Haruskah Lembaga Survei Memberi Tahu Siapa yang Mendanai Surveinya? Inilah Pendapat Denny JA

Hanyi kembali membakar.
“Handai taulan dan kerabat.
Itu semua nyata. Apakah kita diam saja?” Apakah kita biarkan saja?”

Massa mulai panas.
Masa berteriak: “Tidak! Lawan!” Lakukan pembalasan!”

“Ini peristiwa tambahan,” ujar Hanyi.

Baca Juga: MotoGP: Ducati Berusaha Perpanjang Kontrak Francesco Bagnaia

“Tahun 1997 di Barito Selatan, dua orang Dayak dikeroyok 40 orang Madura.

Tahun 1998 di Palangka Raya, orang Dayak dikeroyok empat orang Madura.

Tahun 2000 di Kasongan, seorang Suku Dayak dibunuh orang Madura.”

Baca Juga: Liga Inggris: Sikat Habis Chelsea 4-1, Liverpool Semakin Mantap di Puncak Klasemen Sementara

Baca Juga: Keinginan Warga Kalimantan Timur, Ibu Kota Nusantara, Belum Pernah Diinventarisasi dengan Komprehensif

Dahen panas mendidih.
Tapi, ia juga bertanya dalam hati.

“Mengapa Hanyi hanya kabarkan berita sepihak?
Hanya Dayak yang diserang Madura?
Bukankah banyak juga kasus,
Madura yang diserang Dayak?”

Baca Juga: Ini Tema Utama Debat Capres Kelima atau Terakhir yang akan Dibahas Anies, Prabowo, dan Ganjar

Namun Dahen tak berani membantah.
Massa sudah meletus.

Datanglah hari itu.
Hari yang tak pernah Dahen lupakan.
Hari yang kini ia kenang dengan banyak penyesalan.

-000-

Baca Juga: Jadwal Debat Capres dan Cawapres Terakhir, Tema, Tempat, dan Jam Tayang

Baca Juga: Denny JA: Ibu Kota Nusantara Perlu Memperhatikan Kekayaan Budaya Lokal

Itu hari tanggal 18-21 Febuari, 2001.
Tiga hari yang membara.

Saat itu, arwah para leluhur dayak berkumpul. Kekuatan magis dari tanah, air dan udara, dari masa yang sangat lama, sangat jauh, datang, menyatu.

Baca Juga: Program BBM Satu Harga Digenjot Percepatannya di 2024 oleh BPH Migas

Suku Dayak membalas.
Amarah meletup dari magma gunung di sanubari.

Pembantaian orang Madura di Sampit.
Ngeri.
Ngilu.
Kepala dipenggal.
Kepala dibakar.
Kepala ditusuk.

Baca Juga: Buntut Main Mata Vietnam dan Thailand, Banyak Pihak Sarankan Indonesia Keluar dari AFF dan Gabung EAFF

Baca Juga: Piala Asia 2023: Malam Ini Siaran Langsung Indonesia Vs Australia di RCTI Pukul 18.30 WIB

Puluhan Kepala-kepala itu,
dipisahkan dari badannya,
diarak- arak, diacung- acungkan ke langit,
diseret, dirayakan keliling Kota Sampit, dijadikan upacara.

Oh, tiada yang berani menghalangi.
Tidak polisi.
Tidak tentara.

Tiga hari itu,
Neraka turun ke kota sampit, kabupaten Kotawaringin, kalimantan tengah.

Baca Juga: Dubes RI untuk Malaysia Hermono Merespons Video yang Tuduh Intervensi Intelijen dalam Pemilu 2024

Sebanyak 500 orang Madura terbunuh.
Sebanyak 100.000 orang Madura mengungsi.

Baca Juga: Sepakat Cerai dengan Sule, Nathalie Holscher Dijanjikan Santunan Rp25 Juta untuk Besarkan Adzam

Dari Sampit, bara api meletus, meluas.
Neraka menyebar ke Kuala Kayan, ke Palangkaraya, ke Kuala Kapus, ke Pangkalanbun.

Baca Juga: Duh, Wartawan Ini Kecopetan saat Meliput Debat Capres Cawapres di JCC

Hanyi dan tokoh Dayak berseru:
“Ini hari, hari kebangkitan Suku Dayak. Kita bersihkan tanah leluhur kita dari orang Madura.”

Massa bersorak: “Hidup Dayak! Bangkit kembali Dayak.”

Mandau, parang, tombak diacung- acungkan ke langit.
Kepala- kepala manusia yang dipenggal adalah pemuas amarah, bagian dari ritus purba yang suci.

Baca Juga: Pengamat Komunikasi Anang Sujoko: Debat Keempat Pilpres akan Tampilkan Kelebihan Cawapres

Baca Juga: Beberapa Manfaat yang Bisa Anda Dapatkan dengan Minum Kopi, Asalkan Teratur

Suku Madura tak menduga.
Begitu hebat gunung meletus.
Begitu ngeri ombak laut menggulung.
Ribuan burung- burung kematian, terbang, menakutkan di langit Kota Sampit.

Sebanyak 90 persen populasi Madura kabur,
menyelematkan diri.

Baca Juga: In Memoriam Abdul Hadi WM: Penulis Besar Selalu Hidup Melalui Karyanya

Korban tewas meningkat.
Oh, 1300 jiwa melayang.

Langit, tanah, angin dan air di kota Sampit menjadi saksi.
Sebuah konflik etnik terbesar dalam sejarah Indonesia, berlangsung sudah.

Baca Juga: Beberapa Manfaat yang Bisa Anda Dapatkan dengan Minum Kopi, Asalkan Teratur

Baca Juga: Simak Jadwal Laga Kamis: Piala Asia 2023, Piala Afrika 2024, dan Kiprah Indonesia di India Open

Ribuan roh dari masa lalu, dari abad- abad lampau, keluar dari persembunyiannya.

Di abad 21, pesta pora dan ritual memenggal kepala manusia telah terjadi.
Di Indonesia.
Di Kalimantan Tengah.
Di kota Sampit.

-000-

Baca Juga: Tidak Terima Jadi Tersangka, Siskaeee Mohon Praperadilan, Begini Reaksi Polda Metro Jaya

Dalam peristiwa itulah,
Dahen dan Ambong berkelahi.
Mereka, dua kakak adik, hampir saling membunuh.

Masing- masing sudah menyabetkan Mandau.
Dahen luka di kaki.
Ambong luka di tangan.
Mereka hanya bisa dilerai oleh Ayah mereka sendiri.

Baca Juga: Tips Mendapatkan Tidur Berkualitas, Bangun Segar di Pagi Hari dan Energik Menjalani Aktivitas

Baca Juga: Imlek 2024, Begini Gambaran Karakter Orang yang Lahir di Tahun Naga, Lengkap dengan Kelebihan dan Kelemahannya

Hingga hari ini, Dahen berjalan pincang. Jejak luka disabet Mandau kakaknya sendiri, Ambong, tetap tinggal di kakinya.

“Kau keterlalun. Ada iblis yang masuk ke jiwamu.”

Itu kalimat keras sekali, dilontarkan Dahen kepada Ambong, kakaknya. Di tahun itu, 2001.

Baca Juga: Makna Tersembunyi Tahun Naga di Hari Raya Imlek 2024, Ternyata Bagus Banget

Dahen marah karena Ambong memberi arahan. Tradisi lama Dayak, Ngayau, memenggal kepala, perlu dihidupkan lagi.

Suku Madura hanya bisa dikalahkan, dibuat takut, jika suku Dayak kembali ke jati dirinya. Ritus memenggal kepala.

Baca Juga: Catat, Inilah Aturan Olahraga Lari yang Baik dan Sehat untuk Tubuh

Baca Juga: Jadwal Terkini Hari Raya Imlek 2024, Libur dan Cuti Bersama

“Kau yang keterlaluan. Kau yang penghianat,” balas Ambong kepada Dahen.

“Kau malu dengan identitas Dayakmu? Ngayau itu adalah Dayak. Memenggal kepala itu adalah Dayak. Kau bisa apa? Itu tradisi!”

Dahen membalas: “Dayak juga berubah. Itu Dayak masa lalu. Kau lupa? Atau berlagak tak tahu sejarah sukumu?”

Baca Juga: Liga Jerman: Bayer Leverkusen Tundukkan Augsburg 1-0 dan Amankan Posisinya di Puncak Klasemen Sementara

Tak kalah kencang, Dahen berteriak. “Leluhur kita pernah berkumpul, pernah sepakat. Ngayau sudah ditinggalkan. Memenggal kepala itu bukan lagi bagian Dayak.” (3)

“Kau Dayak kuno! Aku Dayak modern.”

Baca Juga: Ini Syarat Lengkap Supaya Biaya Persalinan Ibu Hamil Ditanggung oleh Negara

Baca Juga: Liga Inggris: West Ham Hanya Mampu Bermain Imbang 0-0 lawan Brighton di Pekan ke-20

Akhirnya, mandau yang bicara. Parang khas suku Dayak diayunkan Ambong. Dahen menangkis, dan berbalik mengayunkan mandau ke tubuh Ambong.

Ibu mereka berterik menangis. Hanya Ayah yang bisa menghentikan.

Kaki Dahen berdarah, agak parah. Tangan Ambong juga berdarah. Cukup parah.

Baca Juga: Timnas Indonesia Harus Telan Pil Pahit, Kalah Telak 0-4 Lawan Libya

Tak lama setelah konflik Madura dan Dayak reda, tahun 2003, Dahen ke Jakarta. Kota Sampit menyimpan luka. Terlalu banyak. Terlalu ngilu.

“Aku harus pergi dari sini,” tekad Dahen.
Ia pun ke Jakarta. Bekerja di ibukota negara. Berkeluarga di sini.

Baca Juga: Mahkamah Konstitusi Juga Tolak Gugatan Uji Materi UU IKN yang Diajukan Din Syamsuddin

Baca Juga: Rumah Grealish Dibobol Maling Ketika Laga Manchester City vs Everton

Sejak pertarungan itu, Dahen dan Ambong tak pernah tegur sapa.

2022, hampir dua puluh tahun berlalu. Dahen dapat kabar Ambong wafat.

-000-

Baca Juga: Moeldoko Adukan Majalah Tempo ke Dewan Pers

Sore itu, Dahen kembali ke Kota Sampit. Ia ambil warisan kakaknya: Mandau.

Ini Mandau sangat disayangi kakaknya. Dipuja bagai pusaka. Mandau ini pula yang melukai kakinya.

Ia bawa mandau itu. Ziarah ke makam kakaknya, Ambong.

Baca Juga: Timnas Indonesia Santap Menu Latihan Penguatan Fisik di TC Turki

Baca Juga: Mahkamah Konstitusi Tolak Uji Materi UU Ibu Kota Negara!

Sore itu sepi. Hanya ada Dahen dan makam itu. Tanah makam Ambong masih merah. Baru seminggu jazadnya dikubur di sana.

Dahen duduk tafakur. Diletakkannya Mandau itu di atas makam.

Baca Juga: Sortir dan Lipat Surat Suara di Jakarta Barat Dimulai 2 Januari 2024

“Ambong, kakakku. Maafkan jika aku menyakitimu. Kesalahanmu sudah aku maafkan juga.

Kita memang tak sejalan. Tapi kau tetap kakakku. Kakak sedarah. Kakakku satu- satunya.”

Dahen mencium pusara kakaknya.
Serentak terbayang suasana di masa kecil, di sawah.

Baca Juga: Ganjar Pranowo Berjanji Hapus Syarat Batas Usia Daftar Kuliah dan Bekerja

Baca Juga: Kepolisian Persilakan Keluarga Brogadir J Ajukan Permohonan Autopsi Ulang dan Tunjuk Dokter Ahli Forensik

Dahen 7 tahun.
Ambong 10 tahun.
Kaki Dahen berdarah terkena pecahan kaca.

Dahen menangis. Ambong menenangkannya. “Dik, ada kakak di sini. Kakak akan merawatmu.”

Baca Juga: Survei LSI Denny JA: Elektabilitas PSI yang Dipimpin Kaesang Hanya 1,5 Persen, Gerindra Salip PDI Perjuangan

Ambong mengendong Dahen, melewati sawah, pulang ke rumah.

Dahen manja kepada kakaknya. Sungguh terasa, kakak sayang padanya. Menjaganya. Melindunginya.

Saat itu, Kota Sampit begitu tenang. Damai. Suara burung berkicau. Gemercik bunyi air sungai. Angin meniup sepoi. Tipis saja.

Baca Juga: Ditemani Erick Thohir, Prabowo Subianto Makan Siang Bersama Pelaku Usaha Muda

Baca Juga: Terlengkap, Ini Daftar Harga Minyak Goreng Kemasan di Indomaret dan Alfamart Per 20 Juli 2022

Dahen mencium lagi pusara kakaknya. Air matanya menetes.

Dahen juga mendatangi makam suku Madura.
Ia taburkan bunga di sana.
Seraya, Dahen memohon maaf, dari hati yang terdalam.

Baca Juga: Yasonna H Laoly Dampingi Megawati Soekarnoputri Selama Jadi Juri Jayed Award 2023 di Roma

Maaf atas tragedi itu.
Tragedi 20 tahun lalu.*

Juli 2022

Baca Juga: Lagi, Pemerintah Ingatkan Jemaah Haji Indonesia Gelombang II Tidak Merokok di Masjid Nabawi

Baca Juga: Jadi Juri Zayed Award 2024, Megawati Diwawancarai Radio Vatikan

CATATAN

1). Pemengggalan kepala mewarnai konflik etnis Dayak verus Madura di Sampit, 2001

https://regional.kompas.com/read/2022/01/24/170506878/ngayau-tradisi-perburuan-kepala-yang-membuat-suku-dayak-ditakuti-musuh?page=all
https://m.liputan6.com/news/read/9010/dan-kepala-bocah-pun-dipenggal

Baca Juga: Dugaan Operasi Tangkap Tangan Gubernur Abdul Gani Kasuba, KPK Gelandang 3 Pejabat Maluku Utara ke Jakarta

2). Peristiwa awal konflik Madura versus Dayak diambil dari sini:

https://phinemo.com/sejarah-perang-dayak-vs-madura-persetruan-antar-etnis-terbesar/

3). Perjanjian Tumbang Anoi antar suku Dayak menyepakati suku Dayak tak lagi menggunakan ngayau, memenggal kepala sebagai cara menghadapi konflik.

Baca Juga: BMKG: Hujan Lebat Berpotensi Turun di Beberapa Kota

https://www.nusapedia.com/2015/07/perjanjian-tumbang-anoi-menelisik.html?m=1


-000-

# Puisi Esai Mini ini bagian dari buku “JERITAN SETELAH KEBEBASAN” yang segera terbit (Denny JA, 2022).

Baca Juga: Peringati Hari Bela Negara, Ibnu Chuldun: Bersatu dan Berkontribusi untuk Indonesia Maju

Ini kumpulan kisah konflik primordial di Era Reformasi: Konflik agama di Maluku (1991-2002), Konflik suku dayak versus madura di Sampit (2001), Konflik Rasial di di Jakarta (Mei 1998), Konflik Ahmadiyah di Mataram (2002-2017), dan konflik pendatang Bali dan penduduk Asli di Lampung (2012).***

Berita Terkait