Denny JA: Mahama Tak Minta Suaka Ke Australia, Kasus Ahmadiyah di NTB, 2006-2022
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Jumat, 05 Agustus 2022 07:55 WIB
Oleh Denny JA
ORBITINDONESIA – Denny JA selaku pendiri ORBITINDONESIA sangat peduli kepada urusan hak azasi manusia. Hak azasi manusia adalah wajib dijunjung tinggi dan dihormati meskipun harus berbeda.
Baca Juga: New Year Gaza 24 B
Denny JA kemudian banyak mengangkat persoalan hak azasi manusia ini ke dalam karya-karyanya, salah satunya dalam bentuk puisi esai mini yang mengangkat tentang kasus Ahmadiyah di Nus Tenggara Barat (NTB) 2006-2020.
Berikut ini puisi esai mini tentang kasus Ahmadiyah di NTB:
Mahama Tak Minta Suaka ke Australia
“Indonesia, kami mencintaimu, selalu, sejak dulu.
Tapi apakah kau juga mencintai kami?”
Itulah yang direnungkan Mahama.
Baca Juga: Ditemani Erick Thohir, Prabowo Subianto Makan Siang Bersama Pelaku Usaha Muda
Ia melihat merah putih berkibar di sana.
Hari itu, 17 Agustus 2021.
Sudah 15 tahun, keluarganya tinggal di sana, di transito, area pemukiman Ahmadiyah
Baca Juga: Yasonna H Laoly Dampingi Megawati Soekarnoputri Selama Jadi Juri Jayed Award 2023 di Roma
di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Sudah 15 tahun komunitas Ahmadiyah diusir dari tanah kelahirannya sendiri, di Ketapang.
Sungguh Mahama tak tahu mengapa mereka diusir.
Baca Juga: Jadi Juri Zayed Award 2024, Megawati Diwawancarai Radio Vatikan
Satu-satunya yang ia tahu: mereka meyakini Ahmadiyah.
Mahama mendengar suara Bung Karno menggelegar di langit, menjadi petir, menjadi guntur, bergema bagai toa raksasa di awan, memekik keras sekali:
“Persatuan yang utama.
Indonesia untuk semua!”
Daun-daun pohon di sana, di area pengungsian itu, bernyanyi Indonesia Tanah Airku.
Angin sore itu, batu-batuan yang berserakan di tanah, di area pengungsian itu, koor bersama:
Baca Juga: BMKG: Hujan Lebat Berpotensi Turun di Beberapa Kota
“Indonesia raya, merdeka-merdeka.
Tanahku negriku, yang kucinta.”
“Tapi,” renung Mahama, “apakah Indonesia juga mencintai kami?”
Baca Juga: Peringati Hari Bela Negara, Ibnu Chuldun: Bersatu dan Berkontribusi untuk Indonesia Maju
“Kami juga warga Indonesia. Lahir di negeri ini. Tapi mengapa kami dibiarkan terusir dari kampung halaman?”
“Kami juga warga Indonesia. Kami tumbuh di tanah ini. Tapi mengapa kami dibiarkan menjadi pengungsi, 15 tahun sudah?”
“Kami juga warga Indonesia. Sejak kanak-kanak kami di sini. Tapi mengapa kami tak dilindungi meyakini paham agama pemberian orang tua kami?”
Baca Juga: Permohonan Layanan Melonjak, Sandi Andaryadi: Imigrasi DKI Jakarta Harus Bekerja Prima
Mahama tak lupa itu peristiwa.
Ketapang, tahun 2006.
Sekelompok orang berteriak marah, menyerang, membakar rumah mereka, sambil menghujat. (1)
Baca Juga: Denny JA: Puisi Esai Waktunya Masuk Kampus dan Sekolah
“Allahu Akbar.
Ini orang Ahmadiyah darahnya halal.
Ajaran sesat.
Sikat saja.
Habisi.
Serang!”
Umur Mahama masih 10 tahun.
Mahama menangis.
Menjerit.
Baca Juga: Warga Negara Asing Asal Korea Selatan Jadi Tersangka Pembunuhan Petugas Imigrasi Tri Fattah Firdaus
Ia takut sekali.
Ia teriak kencang: Ibuuuuu!!!
Ayaaaaahhhhh !!
Baca Juga: Di Gedung Long See Tong Kota Padang, Mahfud MD Janji Perjuangkan Hak Adat
Mahama tak mengerti.
Mengapa orang-orang ini ingin menyakiti.
Ia ingat, Ayahnya melawan.
Baca Juga: Muhaimin Iskandar Janjikan Tunjangan Ibu Hamil, Guru Mengaji, dan Bebaskan Pajak Bumi Bangunan
Tak mau diusir dari rumahnya sendiri.
“Kami juga warga di sini.
Ini tanah kami.
Leluhur kami tinggal di sini lebih lama dari kalian!”
Kawanan itu berteriak lebih keras lagi:
“Hei, orang sesat.
Baca Juga: Taman Mini Indonesia Indah Gelar Konser Musik untuk Natal dan Tahun Baru
Kalian racun di sini.
Kampung ini tercemar,
menjadi sial,
Baca Juga: Dinas Kesehatan: Pengidap COVID 19 di Jakarta Mencapai 200 Kasus per Hari
karena kalian.”
Nenek jatuh tak berdaya.
Ia hampir pingsan.
Baca Juga: Relawan Santri Muda Garut Dukung Ganjar Pranowo-Mahfud MD
Nenek meminta ayah untuk pergi, sementara.
Hindari kekerasan.
Itulah awal mereka tinggal di transito, Mataram.
Baca Juga: Ganjar Pranowo Ikut Kirab Budaya Nitilaku UGM Yogyakarta
Di sini, di transito, sekitar 800 Ahmadiyah mengungsi.
Mereka tinggal di rumah petak 3 meter x 3 meter.
Pemisah rumah awalnya hanya kardus, atau baliho gambar partai peserta pemilu.
Baca Juga: Buruh Rokok di Kudus Deklrasi Dukung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka
Awalnya dijanjikan mereka hanya tinggal sementara.
Pelaku kerusuhan akan ditangkap.
Mereka akan kembali ke rumah di Ketapang.
Baca Juga: Pesantren Lirboyo Kediri Dukung Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar
Hati mereka berbunga.
“Alhamdulilah,
Tuhan tidak tidur.
Aparat bekerja.”
Tapi kini, 15 tahun sudah.
Mereka tetap di sini.
Baca Juga: Diskusi SATUPENA, Satrio Arismunandar: Hak Asasi Manusia dan Pembaruan Islam Terus Berkembang
Mahama kembali menatap bendera merah putih yang berkibar di sore itu.
Usia Mahama kini 25 tahun.
Ia beruntung dibiayai pamannya kuliah di Jakarta.
Kini ia bekerja di Ibu Kota.
Sesekali ia berkunjung ke transito, kangen pada ibu, kakak dan adik.
Ayahnya sudah lama wafat, depresi berat.
Baca Juga: Kampanye di Pelabuhan Perikanan, Nelayan Minta Gibran Bikin Aturan yang Memudahkan Penjualan Ikan
Nenek wafat lebih dahulu.
Derita memakan usia.
Di malam hari, di beranda, duduk bersandar di kursi, menatap langit, ia bertanya.
Baca Juga: Ahmad Syahroni Nasdem: Anies Baswedan Harapan Perubahan untuk Indonesia Timur
“Apa yang salah dengan kami?”
“Bukankah awalnya semua sama?
Kita semua adalah bayi.
Kita tak memilih orangtua.
Tuhan yang memilihkannya.
Bayi yang dapat orangtua Islam, diberi oleh orangtuanya agama Islam.
Bayi yang dapat orangtua Kristen, diberi oleh orang tuanya agama Kristen.
Bayi yang dapat orangtua Hindu, diberi oleh orangtuanya agama Hindu.
Kebetulan kami mendapatkan orangtua yang Islam, tapi paham Ahmadiyah, juga diberi oleh orangtua paham Ahmadiyah.
Baca Juga: BMKG: Selasa Ini, Cuaca Jakarta Diperkirakan Cerah dan Berawan
Apa yang salah?”
Bukankah awalnya semua sama?
Orangtua Islam mengajar anaknya ajaran Islam.
Orangtua Hindu mengajar anaknya ajaran Hindu.
Orangtua Ahmadiyah juga mengajarkan anaknya Islam, tapi paham Ahmadiyah.
Bukankah ajaran agama boleh beda?
Kristen percaya Yesus mati disalib.
Tapi Islam tak percaya itu.
Toh, itu boleh saja.
Islam percaya makan babi haram. Kristen tak percaya itu.
Toh itu boleh saja.
Islam percaya Tuhan memberi wahyu agar sholat menghadap kiblat.
Umat Budha tak percaya itu.
Mereka tidak sholat.
Mereka tidak menghadap kiblat.
Baca Juga: Hasil Practice MotoGP Valencia 2023, Jorge Martin Menjadi yang Pertama
Mereka meditasi.
Toh itu boleh saja.
“Lalu mengapa kami tak boleh percaya kepada keyakinan Islam, tapi paham Ahmadiyah kami?
Baca Juga: Truk Bantuan Bahan Bakar Mulai Masuki Jalur Gaza
Mahama terus bertanya.
“Aku cinta Indonesia,” tegas Mahama. “Karena itu aku tak ikut meminta suaka ke Australia.“
Mahama ingat kala itu.
Baca Juga: Dewan Kota Barcelona Tangguhkan Hubungan Diplomatik dengan Israel
Tahun 2008, tanggal 15 Mei.
Di Kantor Konsulat Jenderal Australia, Jalan Mpu Tantular, Denpasar, Bali.
Sejumlah warga Ahmadiyah asal Lombok, Nusa Tenggara Barat, berkumpul di sana.
Baca Juga: Hasil Pekan ke 11 Pegadaian Liga 2, PSIM Yogyakarta Melawan Malut United Berakhir Tanpa Pemenang
Mereka ingin pergi ke Australia.
Minta suaka.
Menetap di sana.
Baca Juga: Hasil Perempat Final Piala Dunia U17, Kalahkan Uzbekistan Prancis Tatap Semifinal
Mereka didampingi penggiat LBH Bali.
Itu Aliansi Kebebasan untuk Toleransi.
Hadir 13 anggota jemaah Ahmadiyah.
Mereka mewakili 138 jemaat lainnya. (2)
Semua yang minta suaka berasal dari asrama.
Ya, asrama pengungsian.
Baca Juga: Hasil Sprint Race MotoGP Valencia 2023, Jorge Martin Ungguli Francesco Bagnaia
Ujar tokoh Ahmadiyah: “Tiada kita tahan.
Ancaman intimidasi datang berulang-ulang.”
Tokoh Ahmadiyah lain menimpali:
Baca Juga: Hasil Pekan ke 20 BRI Liga 1, PSS Sleman Sukses Raih Tiga Angka atas Barito Putera
“Suaka di Australia menjadi pilihan.
Di negeri sendiri, kita tak dilindungi.
Darah kita dianggap halal.”
Baca Juga: Pekan ke 20 BRI Liga 1: Ciro Alves Hattrick, Persib Bandung Pesta Gol ke Gawang Dewa United
Ayah Mahama dan Mahama diajak serta.
Ayah tak bersedia.
Mahama ikut Ayah,
juga tak bersedia.
Ketika Mahama semakin dewasa, Ayah bercerita.
“Leluhur kita di Indonesia sudah menjadi Ahmadiyah sejak tahun 1925.” (3)
Baca Juga: Hasil Pekan ke 13 Liga Italia, Juventus Melawan Inter Milan Berakhir Tanpa Pemenang
“Buyutmu ikut berjuang untuk negeri ini.
Mereka di samping Bung Karno. Di samping Bung Hatta. Di samping Bung Sjahrir.”
“Sejak dulu hidup kita tentram. Keyakinan kita dilindungi.
Baca Juga: Hasil Pekan ke 20 BRI Liga 1, Persik Kediri Libas 10 Pemain Arema FC
Hanya bermasalah belakangan ini.
Justru di era reformasi.
“Nak,“ kata Ayah.
Baca Juga: MotoGP 2023: Fabio Di Giannantonio Resmi Gantikan Luca Marini di VR46 Racing Team
Buyutmu, kakekmu, Ayahmu, dirimu, lahir di negeri ini.
Kita juga harus dimakam di sini. Jangan pernah tinggalkan ini negri. Ini tanah air kita.”
“Orang-orang mengusir kita. Tapi mereka tak mewakili Indonesia. Jangan luntur cintamu pada Indonesia.”
Baca Juga: Hasil Pekan ke 20 BRI Liga 1, Gol Telat Ragil Selamatkan Muka Bhayangkara FC
Mahama terpana.
Begitu dalam cinta Ayah pada Indonesia.
Tapi Ayah kecewa.
Baca Juga: Hasil Pekan ke 20 BRI Liga 1, Asisst Stefano Lilipaly Bawa Borneo FC Kalahkan Persis Solo
Lalu menderita.
Depresi yang mendalam.
Ayah lobi ke sana dan ke sini.
Baca Juga: Hasil Semifinal Piala Dunia U17 2023, Argentina Kalah Tos Tosan, Jerman Melaju ke Final
Tapi tak banyak yang dilakukan pemerintah.
Tanah mereka di kampung halaman terbengkalai.
Rumah mereka di Ketapang rata dengan tanah.
Baca Juga: Berikut Daftar Tim dan Pebalap pada MotoGP 2024
Mereka tetap dilarang kembali ke Ketapang.
Alasannya: demi keamanan.
“kalian semua bisa mati.”
Baca Juga: Hasil Semifinal Piala Dunia U17 2023, Dua Gol Cantik Antarkan Prancis Tatap Final
Aparat menakut-nakuti.
Selalu.
Tahun 2013, Mahama kuliah di Jakarta.
“Oh Zayda, kau indah sekali.”
Mahama pun jatuh cinta.
Zayda pengobat luka.
Baca Juga: Hasil 16 Besar Piala Dunia U17 2023, Kalahkan Ekuador Brasi Melaju ke Perempat Final
Mahama kumbang, Zayda bunga.
Zayda kumbang, Mahama sarangnya.
Ketika Zayda sakit keras,
Baca Juga: Hasil 16 Besar Piala Dunia U17 2023, Pulangkan Jepang Spanyol Tatap Perempat Final
beminggu di rumah sakit,
Mahama sering menemani.
Di malam hari, Mahama rela tidur di sofa, seadanya.
Baca Juga: Hasil 16 Besar Piala Dunia U17 2023, Dramatis Jerman Kalahkan Amerika Serikat
Kakinya menggelantung.
Kadang Zayda terbangun tengah malam.
Ikut terbangun pula Mahama.
Zayda tenang kembali,
ketika ia melihat Mahama di sana, menemani.
Mereka rencana menikah.
Baca Juga: Menambah Kedalaman Skuad dan Berbagi Pengalaman, Alasan Marcelo Rospide Datangkan Irfan Bachdim
Calon mertua begitu menyayangi Mahama.
Namun datang itu berita.
Calon mertua tahu.
Baca Juga: Qatar akan Umumkan Gencatan Senjata Antara Hamas dan Israel
“Astaga, Mahama seorang Ahmadiyah”
Zayda dilarang menemui Mahama.
Pohon nangka berubah warna.
Baca Juga: Hasil 16 Besar Piala Dunia U17, Dramatis Maroko Kalahkan Iran Lewat Titik Putih
“Kita kawin lari saja, Mahama.
Bawa aku pergi,” kata Zayda meminta.
“Aku menghormati orangtua.
Tapi aku tak setuju pendiriannya.
Ia berubah hanya karena kau Ahmadiyah.”
“Oh Zayda sayangku.
Baca Juga: Hasil 16 Besar Piala Dunia U17 2023, Argentina Sukses Gulung Venezuela
Betapa inginku membawamu.
Tapi aku tahu.
Kau akan menderita.
Baca Juga: Laga Kualifikasi Piala Eropa 2024: Belanda Sukses Gebuk Gibraltar
Aku tak ingin memisahkanmu dari ayahmu, dari ibumu.”
Menangis Zayda memeluk Mahama.
Lebih menangis lagi hati Mahama.
Baca Juga: Hasil Sidang Komdis PSSI, Akibat Ulah Suporter Bali United dan Persib Bandung Kompak Didenda
“Kukira menjadi pengungsi itu puncak kesedihan.
Tapi berpisah dengan pasangan hati, oh ini lebih puncak lagi. Lebih sedih lagi.
Bulan meneteskan air mata.
Baca Juga: Hasil Piala Dunia U17 2023: Secara Mengejutkan Uzbekistan Singkirkan Inggris di Babak 16 Besar
Bunga mawar di taman itu menyanyikan lagu yang pilu.
Angin berkisah cinta yang harus berpisah.
Mahama kembali terdiam.
Hanya karena Ahmadiyah,
kini cinta hidupnya juga sirna.
Mengapa di Indonesia ini terjadi?
Baca Juga: Penampilan Menurun, Timnas Thailand Pecat Mano Polking Akankah Park Hang seo Menggantikannya
Sore hari, 17 Agustus 2021.
Mahama menatap bendara merah putih, mendalam sekali.
Ia bertanya kepada merah putih, yang berkibar-kibar
Baca Juga: Hasil Drawing Piala Asia U23 2024, Indonesia Masuk Grup Neraka Bersama Australia dan Qatar
“Aku mencintaimu, Indonesia.
Tapi apakah kau juga mencintaiku? Apakah kau juga melindungi kami?”
Bendera tak menjawab.
Baca Juga: Hasil Pekan ke 20 BRI Liga 1: Bali United Sukses Libas Madura United di Hadapan Kcong Mania
Hujan turun deras sekali.
Tapi lebih deras luka mengalir di hati Mahama. ***
Baca Juga: Hasil Pekan ke 20 BRI Liga 1:Lumat Persikabo 1973, PSM Makassar Sukses Amankan 10 Besar
Agustus 2022
CATATAN
(1) Pengungsian Ahamdiyah di Transito banyak berasal dari Ketapang
https://ntb.idntimes.com/news/ntb/amp/ahmad-viqi/15-tahun-di-transito-pengungsi-ahmadiyah-minta-perhatian-gubernur-ntb
(2) Sekelompok Ahamdiyah meminta suaka ke Australia.
Baca Juga: Hasil FP1 MotoGP Valencia 2023: Johan Zarco Menjadi yang Tercepat Ungguli Jorge Martin
https://m.liputan6.com/news/read/3966067/rencana-eksodus-jemaah-ahmadiyah-ke-australia-11-tahun-silam
(3) Ahmadiyah datang ke Indonesia sejak tahun 1925.
https://www.kompas.com/stori/read/2021/11/25/120000779/sejarah-ahmadiyah-di-indonesia?amp=1&page=2
#Puisi Esai Mini ini bagian dari buku “JERITAN SETELAH KEBEBASAN” yang segera terbit (Denny JA, 2022).
Ini kumpulan kisah konflik primordial di Era Reformasi: Konflik agama di Maluku (1991-2002), Konflik suku dayak versus madura di Sampit (2001), Konflik Rasial di di Jakarta (Mei 1998), Konflik Ahmadiyah di Mataram (2002-2017), dan konflik pendatang Bali dan penduduk Asli di Lampung (2012). ***